1. Untuk mengendalikan terjadinya evaporasi media pada
fermentasi submerged culture
diperlukan alat penunjang berupa Kondensor karena
kondensor dapat mencegah kehilangan air (penguapan) akibat adanya panas yang
dihasilkan oleh proses agitasi pada sistem fermentasi submerged culture. Penguapan yang terus terjadi dapat menimbulkan
evaporasi pada media fermentasi. Evaporasi dapat menyebabkan peningkatan
konsentrasi pada media. Peningkatan konsentrasi media dapat mempengaruhi
pertumbuhan kultur misalnya apabila kultur mikroba lebih cenderung membutuhkan
media dengan kadar air tinggi dapat turun kecepatan pertumbuhannya. Kondensor
bekerja dengan menurunkan suhu uap air yang telah tebentuk sehingga uap air
akan mengembun membentuk fase cair kembali dan mengalirkannya ke dalam
fermentor.
2. Untuk mencegah terjadinya pemusatan bahan tidak larut
dalam media selama proses fermentasi menggunakan fermenter berpengaduk yang
menyebabkan ketidakhomogenan media diperlukan alat penunjang Baffle karena baffel dapat mencegah pusaran media yang diakibatkan
perputaran impeller. Pusaran media yang terus terjadi dapat menyebabkan
pemusatan bahan tidak larut dalam media yang pada akhirnya membuat media/substrat
tidak homogen selama proses fermentasi menggunakan fermenter berpengaduk.
Baffle yang ditempatkan pada tangki fermentor memiiki fungsi untuk meningkatkan
aerasi pada media. Jumlah baffle pada fermentor biasanya empat buah agar aerasi
maksimal. Baffle bekerja dengan menghalangi perputaran arus media oleh impeller
yang dapat menyebabkan bahan cenderung akan berkumpul di tengah tangki
fermentor akibat adanya gaya sentrifugasi sehingga substrat menjadi homogen
karena dapat merata kesegala arah.
3. Untuk mengatur kandungan oksigen terlarut dalam media
fermentasi aerob diperlukan alat penunjang aerator dan agitator karena aerator dan agitator dapat mengatur kandungan oksigen
terlarut sehingga dapat terdestribusi lebih merata dan fermentasi menjadi
optimal.
Aerator merupakan sejenis pompa yang
dapat menyuplai udara berupa oksigen (O2) pada media fermentasi. Pada
fermentasi aerob sangat membutuhkan suplai oksigen karena kutur akan mati jika
tidak memperoleh oksigen untuk proses metabolismenya. Aerator bekerja dengan
menghembuskan udara (O2) hingga suplainya terpenuhi. Aerator dapat
diatur berdasarkan kebutuhan, dimana apabila tekanan udara pada fermentor lebih
rendah dari aerator maka udara akan dihembuskan pada fermentor.
Agitator adalah alat untuk
mendestribusikan aliran udara aerator agar merata sehingga seluruh sisi pada
tangki fermentor mendapatkan suplai udara yang sama, selain itu juga dapat
meratakan kultur pada media fermentor. Agitator bekerja dengan menggunakan
sistem pengadukan untuk meningkatkan proses aerasi. Pada aerasi yang optimal
dapat menjaga kondisi fermentor tetap stabil dan tetap terkontrol.
4. Mengapa fermenter harus bisa dioperasikan secara
aseptis?
Fermenter harus dapat dioperasikan
secara aseptis agar tidak mengganggu kerja kultur yang dikehendaki untuk
menghasilkan produk. Pada fermenter yang tidak aseptis dapat menyebabkan
kerugian karena adanya kontaminasi oleh mikroba lain yang tidak diinginkan pada
produk yang dihasilkan. Kontaminasi
dapat menimbulkan peningkatan kompetisi/persaingan dalam mendapatkan substrat
sehingga produk yang dihasilkan lebih sedikit, menghambat metabolisme kultur
yang dikembangkan, dan membuat pengukuran jumlah sel tidak akurat karena adanya
turbiditas. Agar dapat menjaga fermentor tetap dalam kondisi steril harus
dilakukan sterilisasi terhadap fermentor, udara pada proses agitasi, dan
dilakukan monitoring secara berkala pada proses fermentasi seperti melakukan
pengendalian buih yang terbentuk selama fermentasi.
5. Suatu produk intraselluler diproduksi melalui proses
fermentasi batch. Langkah pertama
proses recovery produk tersebut
adalah distrupsi sel atau pemecahan sel karena
pada proses fermentasi batch produk intraselluler yang diproduksi berada di
dalam sel sehingga sel harus dipecahkan untuk mengambil produk intraselluler
yang dihasilkan. Produk intraselluler dapat keluar karena terjadi perubahan
morfologi pada sel mikroba.
6. Untuk proses fermentasi menggunakan mikroba yang bersifat shear
sensitive, fermenter yang tepat digunakan
adalah tipe air lift fermentor karena air lift fermentor dapat bekerja tanpa adanya pengadukan secara
mekanis karena mikroba shear
sensitive merupakan mikroba yang tidak tahan terhadap adanya pengadukan secara
mekanis. Air lift fermentor dirancang
dengan dengan dua bagian yang disebut riser
dan downcomer yang berfungsi untuk meningkatkan
efisiensi pindah massa, pindah panas, dan memberi kondisi pengadukan yang lebih dapat
meratakan media karena menggunakan udara melalui beberapa sparger
dibagian dasar untuk aerasi. Air lift
fermentor bekerja dengan berdasarkan
pada perbedaan berat jenis antara bagian cairan kultur yang kaya udara dalam bagian
riser dan cairan kultur yang kurang
udara dalam bagian downcomer. Media
fermentasi digerakkan tidak menggunakan pengadukan melainkan dengan aliran
udara dari bagian riser menuju bagian
downcomer.
7. Untuk meningkatkan efisiensi aerasi pada fermentasi
batch diperlukan alat penunjang Baffle karena baffle dapat
mengoptimalkan aerasi dengan mencegah adanya pemusatan media fermentasi. Baffle
bekerja dengan menghalangi perputaran arus media sehingga udara yang dipompakan
dapat merata kesegala sisi fermentor dan aerasi dapat optimal.
8. Water jacket diperlukan
dalam fermenter untuk mengatur suhu dengan cara menghantarkan panas dalam
fermentor. Water jacket berfungsi untuk menyesuaikan suhu optimal pertumbuhan mikroba
agar kultur yang digunakan pada proses fermentasi tidak mati atau terganggu
pertumbuhannya. Apabila suhu pada fermentor sedang meningkat maka karena proses
fermentasi dapat dilakukan penurunan suhu dengan mengatur suhu water jacket, begitu
pula sebaliknya apabila suhu fermentor sedang dalam keadaan rendah sedangkan
dibutuhkan suhu yang lebih tinggi untuk proses fermentasi maka dapat digunakan water jacket untuk
menaikkan suhu tersebut. Pengaturan suhu dengan memanfaatkan water jacket dilakukan
untuk mengoptimalkan pertumbuhan mikroba sehingga produk yang maksimal dapat dihasilkan.
9. Untuk melakukan proses scale up perlu
diperhatikan parameter internal dan eksternal pada proses fermentasi karena
dengan memperhatikan dan mengontrol parameter
internal dan eksternal agar sesuai dengan kondisi optima pertumbuhan mikroba
sehingga dapat mengoptimalkan proses scale up. Parameter internal meliputi
jenis dan galur mikroba yang digunakan pada fermentasi dan parameter eksternal
meliputi suhu fermentasi, pH subtrat, agitasi, aerasi, konsentrasi inokulum,
konsentrasi substrat dll.
10. Dalam proses fermentasi continuous
culture perlu memperhatikan kecepatan pertumbuhan sel karena pada fermentasi continuous culture dilakukan penambahan substrat saat substrat
mulai habis atau disebut dengan feeding. Kecepatan pertumbuhan sel mikroba yang
diketahui secara pasti dapat digunakan sebagai parameter untuk mengetahui kapan
penambahan substrat harus dilakukan sehingga produk yang dihasilkan dapat
optimal. Pada fermentasi jenis ini sebelum mikroba memasuki fase
stasioner harus dilakukan feeding agar tetap dalam fase logaritmik. Dalam fermentasi continuous
culture dilakukan perlakuan pengontrolan terhadap suhu, substrat, pH,
aerasi dan pengadukan sehingga pertumbuhan mikroba tetap dapat terkendali.
11. Metabolit
mikroba yang bersifat growth
associated adalah metabolit yang dihasilkan oleh mikroba yang merupakan
metabolit primer. Waktu yang terbaik
untuk melakukan proses pemanenan terhadap jenis metabolit tersebut adalah pada
saat mikroba berada pada fase logaritmik (pertumbuhan) karena pada fase logaritmiklah metabolit primer diproduksi oleh
mikroba. Pada fermentasi jenis ini sebelum mikroba memasuki fase
stasioner harus dilakukan feeding agar tetap dalam fase logaritmik. Metabolit primer seperti alkohol dan
asam sitrat dapat dikatakan bersifat growth
associated karena pada proses pembentukannya pertumbuhan mikroba dan pembentukan
produk berjalan seiring. Pada pertumbuhan mikroba dan pembentukan produk yang
berjalan seiring diperlukan sistem fermentasi yang sesuai yakni fermentasi continuous culture karena pada
fermentasi tersebut dilakukan penambahan substrat secara kontinyu kedalam
fermentor (feeding) dan pemanenan produk juga dilakukan secara kontinyu pada
kecepatan aliran yang konstan sehingga pertumbuhan sel dan pembentukan produk
berjalan seimbang.
12. Jelaskan perbedaan sifat tumbuh mikroorganisme
pada kultur batch dan continuous!
Pada fermentasi sistem batch kultur,
tidak dilakukan
penambahan subtrat setelah inokulasi pada media steril fermentor, namun hanya
dilakukan penambahan oksigen, asam atau basa untuk mengontrol agar kondisi
media optimal untuk pertumbuhan mikroba. Pada fermentasi sistem batch kultur mikroba mengalami fase mulai dari
adaptasi, logaritmik, eksponensial hingga fase kematian. Fase logaritmik lebih
singkat karena Pada fermentasi jenis ini sebelum mikroba memasuki fase
stasioner tidak dilakukan feeding agar tetap dalam fase logaritmik. Sehingga menyebabkan produksi
metabolit sekunder lebih banyak daripada metabolit primer. Fermentasi ini
biasanya digunakan untuk memproduksi metabolit sekunder sehingga proses
pemaenan dilakukan pada fase stasioner karena pada saat tersebut dihasilkan metabolit sekunder atau dapat pula
dilakukan pada fase kematian dimana proses fermentasi telah beakhir.
Pada fermentasi sistem continuous
kultur, dilakukan penambahan subtrat setelah inokulasi sebelum mikroba memasuki fase
stasioner. Sehingga fase logaritmik menjadi lebih panjang dimana pada fase
tersebut terjadi proses pembentukan metabolit primer. Fermentasi ini biasa
dipakai untuk memproduksi metabolit primer karena dapat menghasilkan metabolit
primer yang lebih banyak. Pemanenan produk dilakukan pada fase logaritmik
secara kontinyu pada kecepatan aliran yang konstan sehingga pertumbuhan sel dan
pembentukan produk berjalan seimbang.
13. Hitung kecepatan pertumbuhan
mikroba Acremonium dan yield yang dihasilkan pada masing-masing kondisi pertumbuhan
pada artikel terlampir (batch culture).
14. Cari berapa flow rate, kecepatan
pertumbuhan mikroba dan yield yang
dihasilkan pada masing-masing kondisi pertumbuhan (continuous culture)