Tuesday, December 15, 2015

TEKNOLOGI PENGOLAHAN GULA



BAB 1. PENDAHULUAN

1.1  Latar Belakang
Saat ini gula merupakan bahan pangan yang sering dikonsumsi baik untuk pelengkap maupun sebagai bahan utama pada pembuatan makanan. Gula diperoleh dari pengolahan tebu atau bit. Pada kehidupan sehari-hari jarang orang mengetahui nama sukrosa, biasanya masyarakat lebih menyebutnya sebagai gula pasir yang dipergunakan untuk memenuhi kebutuhan kehidupan sehari-hari.
Konsumsi gula pasir oleh masyarakat terus meningkat, peningkatan konsumsi ini disebabkan oleh peningkatan daya beli masyarakat terhadap gula pasir serta meningkatnya pembuatan produk-produk yang memanfaatkan gula pasir sebagai bahan bakunya. Pada umumnya masyarakat lebih menyukai gula pasir yang berwarna coklat dari pada gula pasir yang berwarna putih. Masyarakat menganggap bahwa gula pasir yang berwarna coklat lebih manis dari pada yang berwarna putih. Padahal gula pasir yang berwarna putih menunjukkan bahwa gula tersebut telah melalui proses pemurnian dengan sempurna sehingga gula putih tersebut terbebas dari kotoran. Dengan kata lain gula pasir putih lebih aman dikonsumsi dari pada gula pasir coklat.
Fungsi gula yang baik, tidak akan terlepas dari kualitas gula itu sendiri Gula kualitas rendah tidak akan mampu memberikan peranannya secara maksimal. Kualitas gula pasir dapat ditentukan melalui beberapa parameter, seperti : warna, tingkat kemanisan dan ukuran butir kristal, jumlah residu belerang oksida (SO2), dan derajat Brix nira.
Mengingat pentingnya peranan proses pengolahan gula maka praktikum tentang pengolahan gula ini sangat diperlukan, sehingga kita dapat mengetahui kualitas dari gula pasir yang memiliki mutu baik dan aman untuk dikonsumsi.

1.2  Tujuan
Tujuan dari praktikum ini adalah :
1.      Mengetahui pengaruh kondisi tebu terhadap derajat brix nira
2.      Mengetahui pengaruh perlakuan defekasi terhadap derajat brix nira
3.      Mengamati warna (kecerahan) gula kristal putih
4.      Menentukan besar jenis butir gula kristal putih
5.      Menentukan residu belerang oksida pada gula kristal putih dan gula merah tebu   



BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Pengertian Gula dan SNI untuk Gula Kristal Putih
Gula merupakan senyawa kimia yang termasuk golongan karbohidrat yang memiliki rasa manis dan larut dalam air. Gula juga merupakan senyawa organik yang penting sebagai bahan makanan, sebab gula mudah dicerna oleh tubuh untuk dijadikan sebagai sumber kalori. Selain itu gula juga bersifat higroskopis sehingga banyak digunakan sebagai bahan pengawet produk pangan yang umumnya disimpan dalam bentuk kering (Goutara dan Wijadi, 1975).
Gula berasal dari tebu (Saccharum officinarum L.) atau bit yang diolah hingga menjadi gula. Sukrosa adalah istlah yang sering digunakan dalam industri pangan untuk menyatakan gula. Rumus molekul dari sukrosa adalah C12H22O11 dengan berat molekul sebesar 342. Jika dalam keadaan kering dipanaskan sampai suhu 160OC, maka sukrosa akan lebur dan apabila dilanjutkan akan mengalami karamelisasi. Ada 3 jenis gula yang beredar di pasaran, yakni : gula kristal putih (GKP), gula merah tebu (GMT) , dan gula kristal rafinasi (GKR) hanya digunakan oleh industri (Buckle, 1987).
Menurut SNI 3140.3-2010, gula kristal putih (GKP) adalah gula yang dibuat dari tebu atau bit melalui proses sulfitasi/karbonatasi/fosfatasi atau proses lainnya sehingga langsung dapat dikonsumsi.
No.
Parameter Uji
Satuan
Persyaratan
GKP1
GKP2
1.
1.1
1.2
2.
3.
4.
5.
6.
6.1
7.
7.1
7.2
7.3
Warna
Warna Kristal
Warna larutan (ICUMSA)
Berat jenis butir
Susut pengeringan (b/b)
Polarisasi (0Z, 20 0C)
Abu konduktiviti (b/b)
Bahan tambahan pangan
Belerang oksida (SO2)
Cemaran logam
Timbale (Pb)
Tembaga (Cu)
Arsen (As)

CT
IU
mm
%
Z
%

mg/kg

mg/kg
mg/kg
mg/kg

4,0-7,5
81-200
0,8-1,2
Maks 0,1
Min 99,6
Maks 0,10

Maks 30

Maks 2
Maks 2
Maks 1

7,6-10
201-300
0,8-1,2
Maks 0,1
Min 99,5
Maks 0,15

Maks 30

Maks 2
Maks 2
Maks 1
(Yuwanti,  2012)


                               


4.1 Sifat-sifat Sukrosa
Sukrosa mempunyai sifat-sifat fisika dan kimia antara lain sebagai berikut :
1.  Sifat-sifat Fisika
Kristal sukrosa murni tidak bewarna atau transparan. Larutan sukrosa bersifat optis aktif, yaitu mampu memutar bidang polarisasi cahaya searah dengan jarum jam sebesar 66,530C pada suhu 200C (Honig, 1953). Jika dilihat dari sifat kelarutannya maka kelarutan gula dalam air akan meningkat seiring dengan meningkatnya suhu. Sukrosa larut dalam air dan tidak larut dalam bensin, eter, kloroform (Kuswuri, 2008).
Kristal sukrosa mempunyai sistem monoklin yang terbentuk kristal monoklin hemimorphik dan bentuknya sangat bervariasi. Memiliki berat molekul 342 dan berat jenis 1,5879 pada suhu 15 0C dan pada umumnya memiliki berat jenis antara 1,58-1,61. Titik cairnya adalah 185o C hingga 186o C (Goutara dan Wijadi, 1975).

2.      Sifat-sifat Kimia
Sukrosa merupakan disakarida dengan rumus kimia C12H22O11. Sukrosa tersusun atas glukosa dan fruktosa yang terkondensasi dengan ikatan glikosidik. Konfigurasi tersebut menyebabkan sukrosa memiliki nama kimia D-Glukopironase-D-Fruktopironase (Goutara dan Wijadi, 1975).
Sukrosa terbentuk melalui proses penggabungan antara komponen hasil fotosintesis yang ada pada tumbuhan. Pada proses tersebut terjadi interaksi antara karbon dioksida dengan air didalam sel yang mengandung klorofil. Bentuk sederhana dari persamaan tersebut adalah :
6 CO2 + 6 H2O —–> C6H12O6 + 6 O2
Sukrosa pada kondisi larutan dengan brix rendah dapat mengalami dekomposisi karena :
1. Hidrolisis
Dalam larutan yang mengandung asam, sukrosa mengalami hidrolisis menghasilkan D – Glukosa dan D – Fruktosa. Kehilangan gula akibat hidrolisi harus diperhatikan terutama pada pH rendah dan suhu yang tinggi.
2. Dekomposisi dalam suasana basa
Pada pH basa sukrosa dapat terdekomposisi apabila dipanaskan dengan adanya ion OH-. Proses dekomposisi berawal dari  pembentukan asam organik (asam laktat) diikuti senyawa kompleks yang akhirnya dapat menghasilkan warna coklat. Kerugiannyaberupa kehilangan gula dan timbul zat warna yang merusak warna kristal gula. Untuk menguranginya maka pada penambahan kapur pada proses defekasi harus diawasi agar tidak berlebihan.
3. Dekomposisi termal
Sukrosa dalam bentuk kristal mengalami dekomposisi yang cepat pada suhu diatas titik lelehnya (2000 C). Pada suhu ini akan terbentuk campuran senyawa berwarna coklat yang larut dalam air yang disebut karamel.
4. Dekomposisi oleh Mikroba
Dekompisisi sukrosa dapat dikatalis oleh enzim tertentu yang dihasilkan oleh mikroba. Salah satunya adalah enzim invertase yang menghidrolisis sukrosa menjadi glukosa dan fruktosa
(Kuswuri, 2008).
            Senyawa-senyawa dari gula terbentuk dari dua molekul monosakarida bergabung dengan melepaskan satu molekul air.    
 
Rumus bangun dari sukrosa adalah sebagai berikut :


(Honig, 1953).
Gugus aldehid yang ada pada gula sangat mudah dioksidasi menjadi suatu gugus karboksil. Gula cyang dapat dioksidasi oleh pengoksidasi disebut gula reduktor. Jika pada gula reduktor diberikan CaO maka gula reduktor akan pecah menjadi asam organik. Karena pengaruh ion Ca maka asam organik akan membentuk garam yang kemudian mengendap. Sifat inilah yang dipakai dalam pemurnian nira (Moerdokusumo, 1993).

4.2 Proses Pengolahan Gula Tebu
Gula umumnya terbuat dari nira tebu. Setelah tebu dipanen dan diangkut ke pabrik, selanjutnya dilakukan pengolahan. Adapun komposisi nira tebu hasil pemerahan antara lain:
Komponen
Prosentase
Air
Sukrosa
Gula reduksi
Bahan organik bukan gula
Bahan Anorganik
        Senyawa bernitrogen
75 – 88
10 – 21
0,3 – 3
0,5 – 1,0
0,2 – 0,6
0,5 – 1,0
(Soejardi, 1971)         
 
Dalam proses pengolahan nira menjadi gula, ada beberapa tahapan antara lain sebagai berikut :
a.      Ekstraksi Nira
Pada tahap ini dilakukan proses penggilingan tebu, yang bertujuan untuk mengambil cairan dalam sel, yang lazim disebut sebagai nira tebu, yaitu dengan menggunakan gilingan yang terbuat dari kayu ataupun logam. Pada tahapan ini, seringkali dilakukan proses pengenceran untuk memperbaiki ekstraksi nira yang tertinggal dalam ampas. Peralatan yang digunakan dapat berupa gilingan pemotong (crusher), dan gilingan pengepres (rafeelar) (Herlina, 2005).
b.  Penjernihan Nira
Nira mentah sebagai hasil dari bagian ekstraksi masih banyak mengandung bahan-bahan yang larut (gula, gula reduksi, dan kation-kation yang terikat oleh asam anorganik/organik), tidak larut (pasir, tanah, dan ampas halus), dan koloidal (tetes, zat warna, senyawa besi, dan alumunium).
Proses ini bertujuan untuk memisahkan sebanyak mungkin kotoran yang merupakan zat-zat bukan gula dalam nira hasil ekstraksi, dengan tanpa merusak gula. Netralisasi dengan alkali bertujuan untuk memisahkan senyawa-senyawa terlarut seperti fosfatida, asam lemak bebas dan hidrokarbon (Soejardi, 1971). Pemurnian dapat dilakukan dengan cara :
·         Defekasi
Dalam proses ini digunakan bahan pembersih utama berupa kapur. Kapur diberikan setelah nira dipanasi mencapai suhu 60-900C. Setelah nira netral, akan terbentuk endapan yang dapat dipisahkan dengan cara penyaringan.
·         Sulfitasi
Dalam proses ini digunakan bahan penjernih berupa kapur tohor. Selain itu juga digunakan gas sulfit yang diperoleh dari hasil pembakaran belerang. Gas sulfit digunakan untuk menetralkan kelebihan kapur yang diberikan secara berlebihan dalam proses ini. Ca sulfit yang kemudian terbentuk akan turut membantu mengefisienkan pembersihan kotoran (Yuda, 1992).
·         Karbonatasi
Bahan pembersih yang digunakan dalam cara ini adalah kapur dan gas CO2. Gas CO2 diperoleh dari hasil pembakaran batu kapur. Pada cara ini, kapur yang digunakan jauh lebih banyak. Untuk menetralkan kelebihan kapur, digunakan asam karbonat, yaitu hasil dari reaksi gas CO2 dan air. Endapan yang terbentuk dari proses ini (CaCO3) akan menyerap bahan-bahan yang bukan gula lainnya. Disamping itu, pemurnian juga dapat dilakukan dengan tahapan sebagai berikut :
-        Pengendapan (setling) dan pemisahan gumi (deguming), bertujuan untuk menghilangkan partikel-partikel halus yang tersuspensi atau berbentuk koloidal. Pemisahan ini dilakukan dengan pemanasan uap dan absorbansi, kadang-kadang dilakukan sentrifuse.
-        Netralisasi dengan alkali, bertujuan untuk memisahkan senyawa-senyawa terlarut seperti fosfatida, asam lemak bebas.
(Sugiyarto, 1991)
c. Penguapan (evaporasi)
Evaporasi adalah proses penghilangan zat pelarut dari dalam larutan dengan menggunakan panas. Pengupan pada nira tebu biasanya menggunakaan beberapa evaporator yang terdiri dari rangkaian 4 sampai 5 bejana yang bekerja secara kesinmbungan. Nira pada bejana terakhir merupakan larutan hampir jenih dengan kepekatan  60% briks (Goutara dan Wijadi, 1975). Faktor-faktor yang mempengaruhi kecepatan penguapan adalah : kecepatan penghantaran panas, jumlah panas, suhu, tekanan, dan perubahan-perubahan yang mungkin terjadi selama proses penguapan. Menurut Soejardi  (1971), proses penguapan pada hakikatnya terdiri dari proses pemindahan panas dan pemisahan uap tertentu.
d.      Kristalisasi
Tujuan kristalisasi adalah untuk mendapatkan kristal gula. Kristalisasi merupakan proses pemisahan zat yang terlarut dan zat pelarutnya. Kristalisasi hanya terjadi apabila larutan sudah dalam keadaan lewat jenuh. Jumlah panas yang terserap dalam proses kristalisasi merupakan jumlah panas yang dbutuhkan untuk menurunkan suhu suatu larutan ditambahkan dengan panas yang dibutuhkan untuk melarutkan kristal itu.
Ada dua cara terbentuknya kristal gula :
  • secara spontanitas. Kristal terbentuk secara tiba-tiba karena adanya suhu tinggi pada kondisi jenuh. Adanya panas, akan menguapkan air yang menyelimuti partikel gula, sehingga partikel gula semakin dekat dan dengan sendirinya akan membentuk kristal.
  • Dengan seeding / pembibitan. Caranya adalah dengan menambahkan inti gula. Dengan adanya inti kristal, maka akan memacu terbentuknya kristal gula.
(Sugiyarto, 1991)
e.   Pemisahan Kristal Gula
Biasanya dilakukan dengan menggunakan saringan yang bekerja dengan gaya sentrifugal. Pada prinsipnya, yaitu memisahkan kristal dan larutannya dengan memakai gaya sentrifugal, maka kristal-kristal akan tertahan, sedangkan larutannya akan menerobos melalui rongga antara kristal dengan saringan (Yuda, 1992). Adapun tahapan pemisahan gula antara lain: pertama, penghilangan larutan yang ada di sekitar kristal gula dan yang mngisi pori-pori antar kristal. Kedua, penghilangan sisa larutan yang masih tertinggal diantara kristal sehingga hanya lapisan larutan yang menempel pada kristal. Ketiga, mengurangi jumlah atau ketebalan lapisan kotoran yang tertinggal pada permukaan kristal. Hasil dari proses pemisahan kristal adalah kristal gula dan molase (tetes) (Sugiarto, 1991).
f.        Pengeringan dan Pengemasan
Kristal gula yang dihasilkan dari stasiun kristalisasi masih mengandung air, sehingga diperlukan proses pengeringan untuk menghilangkan air tersebut. Pengeringan biasanya dilakukan dengan cara mengaliri kristal-kristal gula tersebut dengan udara panas, yang bersuhu 800C. Kemudian setelah kristal-kristal gula tersebut kering dilakukan penyimpanan dalam gudang selama menunggu proses pengangkutan. Kristal-kristal gula sebaiknya dikemas dalam kemasan plastik atau karung goni, agar terlindung dari lingkungan yang buruk. Untuk mempermudah pengiriman, maka wadah harus diberi etiket dengan huruf besar yang memberikan perincian mengenai barang, jenis, berat, mutu dan asalnnya (Soejardi, 1971).

 


BAB 3. METODOLOGI PRAKTIKUM

3.1 Alat dan Bahan
3.1.1 Alat
- refraktometer
- beaker glass
- alat pemanas
- pengaduk magnetik
- kertas pH universal
- colour reader
- neraca
- ayakan 16, 18, 20, 30, 50 mesh
- buret
- plastik bening
3.1.2 Bahan
- nira tebu bersama kulitnya
- nira tebu yang dikupas kulitnya
- larutan kapur
- gula curah
- gulapas
- larutan iodium

3.2  Skema Kerja
3.2.1 Penentuan Derajat Brix Gula

   
      3.2.1     Defekasi 
   
      3.2.3 Warna (kecerahan) GKR  
     
      3.2.4 Besar  jenis butir  GKP     
    
      3.2.5 Residu (SO2)
            3.2.5.1 Larutan Iodium ≈ 0,2 mg SO2
    
              
 
3.2.5.2 Penentuan  residu SO2
                          Blanko 
                               
                               Sampel  
 


BAB 4. HASIL PENGAMATAN DAN HASIL PERHITUNGAN

4.1  Hasil Pengamatan
             4.1.1 Derajat brix nira dan defekasi
Jenis nira
Derajat brix
Derajat brix setelah defekasi
Nira tebu bersama kulitnya
1.      20
1.      21,1
2.      20
2.      21
3.      20
3.      21
Nira tebu dikupas kulitnya
1.      21
1.      23
2.      21,3
2.      23
3.      21,2
3.      23

4.1.2        Warna (kecerahan) gula kristal putih
Gula kristal putih
Nilai L
Gula Merah
Nilai L
A
(Putih)
1.      38,8
C
(Agak kuning)
1. 30,9
2.      40,3
2.  27,0
3.      38,7
3.  30,0
B
(Agak coklat)
1.      35,9
D
(Coklat)
1. 22,4
2.      38,3
2.  22,5
3.      37,0
3.  22,6

4.1.3        Berat jenis butir gula kristal putih
Gula kristal putih
Barat (gram) ulangan 1
Berat (gram) ulangan 2
        A.    Gupalas
Fraksi 1: 12,60
Fraksi 1: 11,16
Fraksi 2: 1,81
Fraksi 2: 1,63
Fraksi 3: 23,23
Fraksi 3: 23,06
Fraksi 4: 11,59
Fraksi 4: 15,03
Fraksi 5: 7,88
Fraksi 5: 6,91
Fraksi 6: 0,65
Fraksi 6: 0,33
       B.     Gula Curah
Fraksi 1: 10,80
Fraksi 1: 14,60
Fraksi 2: 25,03
Fraksi 2: 25,64
Fraksi 3: 3,20
Fraksi 3: 0,10
Fraksi 4: 18,90
Fraksi 4: 18,10
Fraksi 5: 1,99
Fraksi 5: 1,65
Fraksi 6: 0,08
Fraksi 6: 0,12

4.1.4        Residu belerang oksida
                       1 ml iod setara dengan = 0,021 SO2/ml                    Ā = standart
                       Berat contoh = 25 gram
Gula
Titran (ml) contoh
Titran (ml) blanko
Gula kristal putih A
1. 3,0
1. 2,9
2. 2,4
2.4,2
Gula kristal putih B
1. 17,1
1.
2. 5,4
2.
Gula kristal putih A
1.
1.
2.
2.
Gula kristal putih B
1.
1.
2.
2.
 
                  Standar
mL Tio
mL Tio x 0,2025
mL Tio x 0,2025/40
Rata-rata
4,4
0,891
0,022
0,023
5,4
1,093
0,027
3,7
0,749
0,019


4.2  Hasil Perhitungan
4.2.1 Derajat brix nira dan defekasi
Jenis nira
Derajat brix Rata- rata
Derajat brix setelah defekasi Rata- rata
Nira tebu bersama kulitnya
20
21.033
Nira tebu dikupas kulitnya
21,167
23

4.2.2. Warna (kecerahan) gula kristal putih

Gula kristal putih
Nilai L
Gula Merah
Nilai L
A
(Putih)
39,267
C
(Agak kuning)
29,3
B
(Agak coklat)
37,067
D
(Coklat)
22,5

4.2.3 Berat jenis butir gula kristal putih
Gula Kristal Putih
Ulangan ke-
Berat jenis butir (BJB)
Rata- rata  Berat jenis butir (BJB)
% BJB
Gula Curah
1
0,83
0,84
1,40%
2
0,84
Gupalas
1
0,94
0,95
1,58%
2
0,96







4.2.4 Residu belerang oksida
Gula
Kadar SO2 (ppm)
Gula kristal putih A
-0,782
Gula kristal putih B
7,084

 

















                                                                         BAB 5. PEMBAHASAN

1.1  Skema Kerja dan Fungsi Perlakuan
Pada praktikum teknologi pengolahan gula ini dilakukan lima sub bab acara yakni : penentuan derajat brix nira, defekasi, penentuan warna (kecerahan) gula kristal putih, penentuan berat jenis butir gula kristal putih dan penentuan residu belerang oksida (SO2).
Pada sub bab  pertama adalah penentuan derajat brix nira, digunakan dua sampel berupa dua jenis nira tebu (nira tebu yang dikupas dan tidak dikupas), perbedaan perlakuan berfungsi untuk mengetahui besarnya derajat brix nira (jumlah zat padat terlarut dalam 100 gram larutan) yang ada pada masing-masing nira. Masing-masing nira diteteskan pada refraktometer. Untuk mengetahui derajat brix pada nira, refrakto meter akan menganalisa derajat brix nira brdasarkan indeks bias nira. Pengamatan dilakukan sebanyak tiga kali dan hasilnya di rata-rata, agar hasil yang didapatkan akurat. Lalu, dilakukan perbandingkan derajat brix kedua jenis nira.
Pada sub bab dua adalah defekasi yakni pemurnian larutan nira dengan kapur. Sampel yang digunakan adalah nira yang sama dengan sub bab pertama yakni : nira tebu dikupas dan tidak dikupas. Lalu dipanaskan hingga suhunya 700C untuk mengendapkan komponen bukan gula sehingga dapat meringankan kerja kapur susu sehingga optimal. Kemudian ditambah susu kapur hingga pH 7 (netral), tujuannya untuk menjernihkan nira dan supaya pH nira menjadi netral. Fungsi penambahan susu kapur adalah untuk menangkap komponen bukan gula sehingga terbentuk flokulan selanjutnya flokulan akan diendapkan untuk dibuang. Kemudian dipanaskan lagi selama 15 menit sambil diaduk, agar tidak terjadi karamelisasi. Kemudian nira didinginkan, pendinginan berfungsi untuk mengendapkan komponen bukan gula dan diteteskan pada refraktometer untuk mengamati derajat brix (jumlah zat padat terlarut dalam 100 gram larutan). sebanyak tiga kali pengamatan. Kemudian dibandingkan antara sebelum defekasi dan sesudah defekasi untuk mengetahui kandungan gula pada dua jenis nira.
Pada sub bab tiga adalah penentuan warna (kecerahan) gula kristal putih. Dipakai dua sampel gula GKP berwarna putih dan GKP berwarna agak coklat. Sampel dimasukkan dalam plastik bening, plastik berfungsi sebagai tempat agar pengukurannya lebih mudah. Dilakukan pengamatan sebanyak tiga kali menggunakan color reader untuk mengetahui tingkat kecerahan masing-masing gula agar hasilnya lebih akuat. Kemudian dilakukan perbandingan derajat kecerahan warna sampel, apabila warna GKP putih akan menghasilkan tingkat kecerahan lebih tinggi.
Pada sub bab empat adalah penentuan berat jenis butir gula kristal putih. Ayakan disusun sesuai ukuran mesh dari yang memiliki jumlah lubang paling sedikit hingga paling banyak 16, 18, 20, 30, 50 mesh. Hal ini bertujuan untuk mengetahui fraksi berat pada tiap-tiap mesh dan berat jenisnya. Kemudian dua sampel GKP (gula curah dan gupalas) ditimbang 60 gram. Lalu dilakukan pengayakan selama 10 menit agar proses maksimal sehingga terbentuk fraksi pada tiap ayakan. Hasil ayakan ditimbang  dan dilakukan perhitungan persentasi fraksi dan berat jenis gula, dibandingankan dengan SNI gula kristal putih untuk mengetahui mutu GKP yang diuji.
Pada sub bab lima adalah penentuan kadar SO2 (belerang dioksida). Yang pertama adalah pembuatan larutan Iodium 0,2 mg SO2 ditimbang 6,0 g KI yang berfungsi untuk melarutkan Iod. KI (kristal) dilarutkan dalam air sehingga terbentuk KI (liquid). Ditambahkan 0,8 g Iod untuk mengetahui perbandingan SO2 dalam 1 ml Iodium. Lalu didiamkan selama 24 jam hingga terbentuk larutan Iod untuk memaksimalkan proses. Larutan ini yang kemudian akan dijadikan sebagai titer dalam penentuan belerang dioksida. Larutan Iod di pipet 40 ml, dimasukkan Erlenmeyer 250 ml lalu ditambahkan 25 ml Aquades untuk mengencerkannya. Dilakukan titrasi dengan larutan tiosulfat 0,1 N hingga warnanya pucat dan ditambahn 10 ml indikator berupa pati sebagai indikator terbentuknya warna biru karena larutan Iod akan berikatan dengan thiosulfat, pati berikatan dengan Iodin (warna biru), dilakukan titrasi hingga warna biru hilang. Hasil dari titrasi merupakan (ml thiosulfat standar), perhitungan dilakukan sehingga nilai A atau jumlah SO2 yang sebanding dengan 1 ml iod dapat diketahui.
Kedua dilakukan pembuatan blanko sebanyak 2 kali agar hasil yang didapatkan lebih akurat. Pertama 150 ml aquades ditambah 10 ml indikator pati dan 10 ml HCl karena pada kondisi asam kepekaan adanya Iod lebih optimal. Kemudian dititrasi dengan Iod hingga warnanya berubah ungu muda dan dicatat ml titrasi sebagai v ml. Akan terjadi ikatan antara titran dengan indikator pati. Adanya ikatan ditandai dengan warna ungu muda dan titrasi harus segera dihentikan. Hasil warna ini digunakan untuk standar dalam warna titrasi pada sampel GKP. Sebanyak 25 gram sampel dilarutkan dalam 150 ml aquades. Lalu ditambah 10 ml indikator pati dan 10 ml HCl agar kepekaan adanya Iod lebih maksimal. Lalu di titrasi dengan larutan Iod hingga warnanya ungu muda kemudian dicatat ml titrasi sebagai t ml.

1.2  Prinsip Kerja Refraktometer dan Colour Reader
1.2.1        Prinsip Kerja Refraktometer
Refraktometer Refractometer adalah alat yang digunakan untuk mengukur konsentrasi bahan terlarut misalnya : Gula, Garam, Protein dsb. Semakin kecil sudut refraksi maka semakin besar konsentrasi. Prinsip kerja refraktometer adalah dengan memanfaatkan refraksi cahaya, cahaya polikromatis dari sinar lampu akan menyinari day light plate. Larutan  yang diletakkan di atas prisma akan terkena cahaya polikromatis yang diteruskan ke prisma. Kemudian cahaya polikromatis diubah menjadi cahaya monokromatis sehingga terjadi pemfokusan pada lensa, dan deiteruskan ke biomaterial skip, dan tertera skala. Skala dibaca menggunaka mata dari eye pieces. 

 
 
 

        Bagian-Bagian refraktometer
1.      Day Light Plate
Berfungsi untuk mencegah prisma tergores oleh debu atau benda asing, dan agar sample yang diteteskan pada prisma tidak tumpah karena terbuat dari kaca.
2.      Lensa
Berfungsi memfokuskan cahaya dan berada dalam bagian handle.
3.      Biomaterial Skip
Berfungsi menstabilkan suhu berkisar antara 200C.
4.      Skala
Berfungsi dalam pembacaan specific grafity atau rapatan jenis. indeks refraksi
5.      Prisma
Berfungsi membaca skala atau indeks bias dari zat terlarut dan mengubah cahaya polikromatis menjadi monokromatis.
6.      Knop Pengatur Skala
Berfungsi dalam mengkalibrasi alat. Cara kalibrasi yaitu menggunakan aquades, obeng minus diletakkan pada knop pengatur skala, lalu diputar hingga specific grafity menunjukkan nilai 1.000.
7.      Handle
Berfungsi sebagai area pegangan refraktometer dan menjaga suhu tetap stabil.  Handle terbuat dari bahan karet karena karet merupakan bahan isolator yang tahan terhadap panas sehingga dapat menjaga kestabilan suhu.
8.      Lensa Pembesar
Berfungsi mengatur ketajaman skala.
9.      Eye Pieces
Berfungsi untuk melihat pembacaan skala.

5.2.2 Prinsip Kerja Color Reader
Color reader adalah suatu alat yang digunakan untuk mengukur warna bahan kususnya mengukur tingkat kecerahan bahan. Prinsip kerja Colour Reader adalah memperkecil efek penghamburan dan pemantulan radiasi elektromagnetik yang mengenai suatu substansi, sehingga radiasi yang diserap dan diteruskan tetap menjadi proporsi terbesar. Pada digital color reader terdapat lambang L, a, dan b. (L) menyatakan lightnees atau kecerahan, rangenya antara 0 sampai 100. Angka 100 didefisinikan sebagai warna cerah (putih) sedang 0 sebagai hitam. Sedangkan a dan b tidak dibatasi oleh angka yang specific. Bila nilai a menunjukkan + maka benda semakin merah. Bila a- benda atau obyek akan semakin hijau. Begitu pula dengan b, bila (+) akan makin kuning, akan makin biru (Taruna, 2009).
Berikut adalah gambar Colour Reader :

 

5.3 Analisa Data
Pada penentuan nilai derajat nilai derjat brix nira sebelum defekasi dan sesudah defekasi diperoleh : pada nira sebelum defekasi nira tebu yang tidak dikupas pada 3x pengulangan adalah 20 dan setelah dikupas berturut-turut adalah 21,1; 21; dan 21. Sehingga didapatkan rata-rata derajat brixnya adalah 20 dan 21,033. Sedangkan pada nira yang dikupas kulitnya derajat nilai derjat brix nira sebelum defekasinya berturut-turut adalah 21; 21,3; dan 21,2. Setelah defekasi pada 3x pengulangan adalah 23. Sehingga didapatkan rata-rata derajat brixnya adalah 21,167 dan 23. Dari data tersebut terlihat bahwa dengan dilakukannya defekasi dapat meningkatkan derajat brix pada nira baik pada nira tebu yang dikupas ataupun tidak. Sehingga dapat disimpulkan bahwa proses defekasi dapat mengurangi komponen-komponen bukan gula yang ada pada nira sehingga derajat brix (jumlah zat padat terlarut dalam gr pada 100 gr larutan) akan meningkat. Pada sampel nira yang tidak dikupas kadar gulanya lebih rendah karena masih terdapat kulit yang mengandung komponen seperti selulosa dan lignin yang mempersulit alat ekstraksi untuk mengekstrak gula dari tebu sehingga dapat menguragi kandungan gulanya. Proses defekasi dapat digunakan untuk memurnikan/menjernihkan nira sebelum proses selanjutnya agara diperoleh gula yang lebih banyak dan bebas dari kotoran dan komponen lain yang tidak diinginkan dan berbahaya.
Pada pengamatan warna (kecerahan) gula kristal putih pada sampel A (putih) nilai rata-rata L adalah 39,26; pada sampel B (agak coklat) adalah 37,067; pada sampel C (agak kuning) adalah 29,3; sampel D (coklat) adalah 22,5. Dari data tersebut dapat disimpulkan bahwa dengan semakin putih dan cerah warna gula maka nilai L nya juga akan semakin tinggi dan begiu pula sebaliknya dengan semakin gelap dan coklat warna gula maka menyatakan nilai L yang semakin rendah/kecil. Dengan semakin tingginya nilai kecerahan dapat disimpulkan pula bahwa proses pemurnian niranya semakin baik sehingga dapat menghilangkan kotoran dan komponen bukan gula yang tidak diinginkan dan dapat dihasilkan gula kristal putih yang memiiki warna putih yang cerah dan bersih.
Pada pengujian berat butir gula kristal putih pada gula curah dengan ulangan 2 kali diperoleh rata-rata berat jenis butir (BJB) sebesar 0,84 dan % BJB sebesar 1,40% sedangkan  pada sampel Gulapas sebesar 0,95 dan % BJB sebesar 1,58%. Dari data tersebut terlihat bahwa gula curah memiliki berat jenis butir yang lebih rendah dari Gulapas yang merupakan guka kemasan produksi PTPN. Berat jenis butir menyatakan mutu gula sesuai SNI gula kristal putih menyatakan GKP1 dan GKP2 harus memiliki nilai BJB sebesar 0,8-1,2 mm. Sehingga sampel gula curah dan Gulapas dapat masuk kualifikasi kualitas GKP1 atau GKP2. Namun mutu gula kristal puth tidak hanya ditentukan oleh BJB saja, namun dengan parameter-parameter lain. Sehingga kualifikasi mutu gula kristal dapat diketahui dan konsumen tidak merasa dirugikan dengan kualitas gula kristal putih yang digunakan.
Pada analisa residu belerang oksida diperoleh nilai kadar SO2 pada gula kristal putih A (putih) sebesar -0,782 ppm sedangkan pada gula kristal putih B (agak coklat) sebesar 7,084 ppm. Dari hasil tersebut dapat disimpulkan bahwa gula kristal putih A tidak terdapat residu belerang oksida dan pada gula kristal putih B terdapat residu belerang oksida namun masih ada dalam rentan konsentrasi yang dapat diterima dan tidak membayakan kesehatan konsumen. Menurut SNI GKP, gula kristal putih A dan B dapat dikualifikasikan dalam GKP1 aau GKP2 karena masih dapat ditoleransi pada SNI maksimal residu belerang oksida yang diperbolehkan adalah maksimal 30 mg/kg.


5.4  Mengapa Metode Analisis Residu Sulfit Tidak Dapat Digunakan pada Sampel Gula Merah
Metode analisis residu sulfit tidak dapat digunakan pada sampel gula merah karena pada sampel gula merah memiliki warna yang gelap sehingga apabila dilakukan analisa maka perubahan warna ungu sampel yang menyatakan bahwa proses analisa berakhir tidak akan terlihat. Hal ini menyebabkan sulitnya analisa ini diterapkan pada sampel gula merah dan dapat menyebabkan analisa yang dilakuakan tidak akan menghasilkan data yang valid.




BAB 6. PENUTUP

6.1 Kesimpulan
Kesimpulan pada praktikum ini adalah :
1.  Gula merupakan senyawa kimia yang termasuk golongan karbohidrat yang mempunyai rasa manis dan larut dalam air, serta mempunyai sifat optis aktif yang dapat dijadikan ciri khas untuk mengenal setiap gula.
2. Sukrosa merupakan gabungan dari α-D-glukopyranosil/glukosa dan β-D-fruktofuranosil/fruktosa.
3.  Dalam proses pengolahan nira menjadi gula, ada beberapa tahapan antara lain: ekstraksi nira, Penjernihan, Penguapan (evaporasi), Kristalisasi, Pemisahan Kristal, dan Pengeringan dan Pengemasan.
4.  Defekasi dapat meningkatkan derajat brix pada nira baik pada nira tebu yang dikupas ataupun tidak.
5.  Semakin putih dan cerah warna gula maka nilai L nya juga akan semakin tinggi.
6. Dengan semakin tingginya nilai kecerahan dapat disimpulkan pula bahwa proses pemurnian niranya semakin baik.
7.  Gula curah memiliki kualitas yang lebih rendah karena memiliki berat jenis butir yang lebih rendah dari Gulapas.
8. Gula kristal putih A (putih) tidak terdapat residu belerang oksida dan pada gula kristal putih B (agak coklat) terdapat residu belerang oksida namun masih ada dalam rentan konsentrasi yang dapat diterima dan tidak membayakan kesehatan konsumen.

6.2 Saran
Untuk alat sebaiknya ditambah agar praktikum dapat berjalan dengan baik dan lebih mengevisienkan waktu.




DAFTAR PUSTAKA

Buckle, K.A. 1987. Ilmu Pangan. Jakarta : UI – Press.
Goutara dan Wijadi. 1975. Dasar Pengolahan Gula I. Fakultas Teknologi Pertanian. Bogor: Institut Pertanian Bogor.
Honig, P. 1953. Principle of Sugar Technology, Vol. I. London : Elseiver Publishing Co.
Kuswuri, R. 2008. Sukrosa dan Sifatnya. http://www.risvank.com/2008/05/sukrosa-dan-sifatnya/ [15 November 2010].
Moerdokusumo, A. 1993. Pengawasan Kualitas dan Teknologi Pembuatan Gula Di Indonesia. ITB Bandung. Bandung.
Soejardi. 1971. Teknologi Gula Proses Kristalisasi dalam Pangan Masakan. Jakarta : LPP.
Sugiyarto. 1991. Proses Pengolahan Gula. Jember : POLTEK Universitas Jember.
Yuda, C. 1992. Proses Pengolahan Gula di PTPN XI PG Olehan. Situbondo : PG Olehan
Yuwanti, S. 2012. Teknologi Pengolahan Gula Handout. Jember : FTP UNEJ





ANALISIS JABATAN "STUDI KASUS PADA PT. PERKEBUNAN NUSANTARA (PERSERO) X KEBUN AJONG GAYASAN

MAKALAH “Analisis Jabatan” Studi Kasus Pada PT. Perkebunan Nusantara (Pe...