BAB 1.
PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang
Saat ini gula merupakan bahan pangan yang sering
dikonsumsi baik untuk pelengkap maupun sebagai bahan utama pada pembuatan
makanan. Gula diperoleh dari pengolahan tebu atau bit. Pada kehidupan
sehari-hari jarang orang mengetahui nama sukrosa, biasanya masyarakat lebih
menyebutnya sebagai gula pasir yang dipergunakan untuk memenuhi kebutuhan
kehidupan sehari-hari.
Konsumsi
gula pasir oleh masyarakat terus meningkat, peningkatan konsumsi ini disebabkan
oleh peningkatan daya beli masyarakat terhadap gula pasir serta meningkatnya
pembuatan produk-produk yang memanfaatkan
gula pasir sebagai bahan bakunya. Pada umumnya masyarakat
lebih menyukai gula pasir yang berwarna coklat dari pada gula pasir yang
berwarna putih. Masyarakat menganggap bahwa gula pasir yang berwarna coklat
lebih manis dari pada yang berwarna putih. Padahal gula pasir yang berwarna
putih menunjukkan bahwa gula tersebut telah melalui proses pemurnian dengan sempurna sehingga gula
putih tersebut terbebas dari kotoran. Dengan kata lain gula pasir putih lebih aman dikonsumsi
dari pada gula pasir coklat.
Fungsi gula yang baik, tidak akan terlepas dari kualitas
gula itu sendiri Gula kualitas rendah tidak akan mampu memberikan peranannya
secara maksimal. Kualitas gula pasir dapat ditentukan melalui beberapa
parameter, seperti : warna, tingkat kemanisan dan ukuran butir kristal, jumlah
residu belerang oksida (SO2), dan derajat Brix nira.
Mengingat pentingnya peranan proses pengolahan gula maka
praktikum tentang pengolahan gula ini sangat diperlukan, sehingga kita dapat
mengetahui kualitas dari gula pasir yang
memiliki mutu baik dan aman untuk dikonsumsi.
1.2
Tujuan
Tujuan dari praktikum ini adalah :
1. Mengetahui pengaruh kondisi tebu terhadap derajat brix
nira
2. Mengetahui pengaruh perlakuan defekasi terhadap derajat
brix nira
3. Mengamati warna (kecerahan) gula kristal putih
4. Menentukan besar jenis butir gula kristal putih
5. Menentukan residu belerang oksida pada gula kristal putih
dan gula merah tebu
BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA
2.1
Pengertian Gula dan SNI untuk Gula Kristal Putih
Gula merupakan senyawa kimia yang termasuk golongan
karbohidrat yang memiliki rasa manis dan larut dalam air. Gula juga merupakan
senyawa organik yang penting sebagai bahan makanan, sebab gula mudah dicerna oleh
tubuh untuk dijadikan sebagai sumber kalori. Selain itu gula juga bersifat
higroskopis sehingga banyak digunakan sebagai bahan pengawet produk pangan yang
umumnya disimpan dalam bentuk kering (Goutara dan Wijadi, 1975).
Gula berasal dari tebu (Saccharum officinarum L.) atau bit yang diolah hingga menjadi gula.
Sukrosa adalah istlah yang sering digunakan dalam industri pangan untuk
menyatakan gula. Rumus molekul dari sukrosa adalah C12H22O11
dengan berat molekul sebesar 342. Jika dalam keadaan kering dipanaskan sampai
suhu 160OC, maka sukrosa akan lebur dan apabila dilanjutkan akan
mengalami karamelisasi. Ada 3 jenis gula yang beredar di pasaran, yakni : gula
kristal putih (GKP), gula merah tebu (GMT) , dan gula kristal rafinasi (GKR)
hanya digunakan oleh industri (Buckle, 1987).
Menurut SNI 3140.3-2010, gula kristal putih (GKP) adalah
gula yang dibuat dari tebu atau bit melalui proses
sulfitasi/karbonatasi/fosfatasi atau proses lainnya sehingga langsung dapat
dikonsumsi.
No.
|
Parameter
Uji
|
Satuan
|
Persyaratan
|
|
GKP1
|
GKP2
|
|||
1.
1.1
1.2
2.
3.
4.
5.
6.
6.1
7.
7.1
7.2
7.3
|
Warna
Warna Kristal
Warna larutan (ICUMSA)
Berat jenis butir
Susut pengeringan (b/b)
Polarisasi (0Z, 20 0C)
Abu konduktiviti (b/b)
Bahan tambahan pangan
Belerang oksida (SO2)
Cemaran logam
Timbale (Pb)
Tembaga (Cu)
Arsen (As)
|
CT
IU
mm
%
Z
%
mg/kg
mg/kg
mg/kg
mg/kg
|
4,0-7,5
81-200
0,8-1,2
Maks 0,1
Min 99,6
Maks 0,10
Maks 30
Maks 2
Maks 2
Maks 1
|
7,6-10
201-300
0,8-1,2
Maks 0,1
Min 99,5
Maks 0,15
Maks 30
Maks 2
Maks 2
Maks 1
|
(Yuwanti, 2012)
4.1 Sifat-sifat
Sukrosa
Sukrosa mempunyai sifat-sifat fisika dan kimia antara lain sebagai berikut :
1. Sifat-sifat Fisika
Kristal
sukrosa murni tidak bewarna atau transparan. Larutan sukrosa bersifat optis
aktif, yaitu mampu memutar bidang polarisasi cahaya searah dengan jarum jam
sebesar 66,530C pada suhu 200C (Honig, 1953). Jika dilihat dari sifat
kelarutannya maka kelarutan gula dalam air akan meningkat seiring
dengan meningkatnya suhu. Sukrosa larut dalam air dan tidak larut dalam
bensin, eter, kloroform (Kuswuri, 2008).
Kristal sukrosa mempunyai sistem monoklin yang terbentuk
kristal monoklin hemimorphik dan bentuknya sangat bervariasi. Memiliki berat
molekul 342 dan berat jenis 1,5879 pada suhu 15 0C dan pada umumnya memiliki
berat jenis antara 1,58-1,61. Titik cairnya adalah 185o
C hingga 186o
C (Goutara
dan Wijadi, 1975).
2.
Sifat-sifat Kimia
Sukrosa merupakan disakarida dengan rumus kimia C12H22O11.
Sukrosa tersusun atas glukosa dan fruktosa yang terkondensasi dengan ikatan
glikosidik. Konfigurasi tersebut menyebabkan sukrosa memiliki nama kimia
D-Glukopironase-D-Fruktopironase (Goutara dan Wijadi, 1975).
Sukrosa
terbentuk melalui proses penggabungan antara komponen hasil fotosintesis
yang ada pada tumbuhan. Pada proses tersebut terjadi interaksi antara karbon
dioksida dengan air didalam sel yang mengandung klorofil. Bentuk sederhana dari
persamaan tersebut adalah :
6 CO2
+ 6 H2O —–> C6H12O6 + 6 O2
Sukrosa pada kondisi larutan
dengan brix rendah dapat mengalami dekomposisi karena :
1. Hidrolisis
Dalam larutan yang
mengandung asam, sukrosa mengalami hidrolisis menghasilkan D – Glukosa dan D –
Fruktosa. Kehilangan gula akibat hidrolisi harus diperhatikan terutama pada pH
rendah dan suhu yang tinggi.
2. Dekomposisi dalam suasana basa
Pada pH basa sukrosa dapat
terdekomposisi apabila dipanaskan dengan adanya ion OH-. Proses
dekomposisi berawal dari pembentukan asam organik (asam laktat) diikuti senyawa kompleks yang
akhirnya dapat menghasilkan warna coklat. Kerugiannyaberupa kehilangan gula dan timbul zat
warna yang merusak warna kristal gula. Untuk menguranginya maka pada penambahan kapur pada proses
defekasi harus diawasi agar tidak
berlebihan.
3. Dekomposisi termal
Sukrosa dalam
bentuk kristal mengalami dekomposisi yang cepat pada suhu diatas titik lelehnya
(2000 C). Pada suhu ini akan terbentuk campuran senyawa berwarna
coklat yang larut dalam air yang disebut karamel.
4.
Dekomposisi oleh Mikroba
Dekompisisi sukrosa
dapat dikatalis oleh enzim tertentu yang dihasilkan oleh mikroba. Salah satunya
adalah enzim invertase yang menghidrolisis sukrosa menjadi glukosa dan fruktosa
(Kuswuri, 2008).
Senyawa-senyawa
dari gula terbentuk dari dua molekul monosakarida bergabung dengan melepaskan
satu molekul air.
Rumus bangun dari sukrosa adalah sebagai berikut :
(Honig, 1953).
Gugus aldehid yang ada pada gula
sangat mudah dioksidasi menjadi suatu gugus karboksil. Gula cyang dapat
dioksidasi oleh pengoksidasi disebut gula reduktor. Jika pada gula reduktor
diberikan CaO maka gula reduktor akan pecah menjadi asam organik. Karena
pengaruh ion Ca maka asam organik akan membentuk garam yang kemudian mengendap.
Sifat inilah yang dipakai dalam pemurnian nira (Moerdokusumo, 1993).
4.2 Proses
Pengolahan Gula Tebu
Gula
umumnya terbuat dari nira tebu. Setelah tebu
dipanen dan diangkut ke pabrik, selanjutnya dilakukan pengolahan. Adapun
komposisi nira tebu hasil pemerahan antara lain:
Komponen
|
Prosentase
|
Air
Sukrosa
Gula reduksi
Bahan organik bukan gula
Bahan Anorganik
Senyawa bernitrogen
|
75 – 88
10 – 21
0,3 – 3
0,5 – 1,0
0,2 – 0,6
0,5 – 1,0
|
(Soejardi, 1971)
Dalam proses pengolahan nira menjadi gula, ada beberapa
tahapan antara lain sebagai berikut :
a.
Ekstraksi Nira
Pada tahap ini dilakukan proses penggilingan tebu, yang
bertujuan untuk mengambil cairan dalam sel, yang lazim disebut sebagai nira
tebu, yaitu dengan menggunakan gilingan yang terbuat dari kayu ataupun logam.
Pada tahapan ini, seringkali dilakukan proses pengenceran untuk memperbaiki
ekstraksi nira yang tertinggal dalam ampas. Peralatan yang digunakan dapat
berupa gilingan pemotong (crusher), dan gilingan pengepres (rafeelar) (Herlina,
2005).
b. Penjernihan Nira
Nira mentah sebagai hasil dari bagian ekstraksi masih
banyak mengandung bahan-bahan yang larut (gula, gula reduksi, dan kation-kation
yang terikat oleh asam anorganik/organik), tidak larut (pasir, tanah, dan ampas
halus), dan koloidal (tetes, zat warna, senyawa besi, dan alumunium).
Proses ini bertujuan untuk memisahkan sebanyak mungkin
kotoran yang merupakan zat-zat bukan gula dalam nira hasil ekstraksi, dengan
tanpa merusak gula. Netralisasi dengan alkali bertujuan untuk memisahkan
senyawa-senyawa terlarut seperti fosfatida, asam lemak bebas dan hidrokarbon
(Soejardi, 1971). Pemurnian dapat dilakukan dengan cara :
·
Defekasi
Dalam proses ini digunakan bahan pembersih utama berupa
kapur. Kapur diberikan setelah nira dipanasi mencapai suhu 60-900C.
Setelah nira netral, akan terbentuk endapan yang dapat dipisahkan dengan cara
penyaringan.
·
Sulfitasi
Dalam proses ini digunakan bahan penjernih berupa kapur
tohor. Selain itu juga digunakan gas sulfit yang diperoleh dari hasil
pembakaran belerang. Gas sulfit digunakan untuk menetralkan kelebihan kapur
yang diberikan secara berlebihan dalam proses ini. Ca sulfit yang kemudian
terbentuk akan turut membantu mengefisienkan pembersihan kotoran (Yuda, 1992).
·
Karbonatasi
Bahan pembersih yang digunakan dalam cara ini adalah
kapur dan gas CO2. Gas CO2 diperoleh dari hasil
pembakaran batu kapur. Pada cara ini, kapur yang digunakan jauh lebih banyak.
Untuk menetralkan kelebihan kapur, digunakan asam karbonat, yaitu hasil dari
reaksi gas CO2 dan air. Endapan yang terbentuk dari proses ini (CaCO3)
akan menyerap bahan-bahan yang bukan gula lainnya. Disamping itu, pemurnian
juga dapat dilakukan dengan tahapan sebagai berikut :
-
Pengendapan (setling) dan
pemisahan gumi (deguming), bertujuan untuk menghilangkan partikel-partikel
halus yang tersuspensi atau berbentuk koloidal. Pemisahan ini dilakukan dengan
pemanasan uap dan absorbansi, kadang-kadang dilakukan sentrifuse.
-
Netralisasi dengan alkali,
bertujuan untuk memisahkan senyawa-senyawa terlarut seperti fosfatida, asam
lemak bebas.
(Sugiyarto, 1991)
c. Penguapan
(evaporasi)
Evaporasi adalah proses penghilangan zat pelarut dari
dalam larutan dengan menggunakan panas. Pengupan pada nira tebu biasanya
menggunakaan beberapa evaporator yang terdiri dari rangkaian 4 sampai 5 bejana
yang bekerja secara kesinmbungan. Nira pada bejana terakhir merupakan larutan
hampir jenih dengan kepekatan 60% briks (Goutara dan Wijadi, 1975).
Faktor-faktor yang mempengaruhi kecepatan penguapan adalah : kecepatan
penghantaran panas, jumlah panas, suhu, tekanan, dan perubahan-perubahan yang
mungkin terjadi selama proses penguapan. Menurut Soejardi (1971),
proses penguapan pada hakikatnya terdiri dari proses pemindahan panas dan
pemisahan uap tertentu.
d.
Kristalisasi
Tujuan kristalisasi adalah untuk mendapatkan kristal
gula. Kristalisasi merupakan proses pemisahan zat yang terlarut dan zat
pelarutnya. Kristalisasi hanya terjadi apabila larutan sudah dalam keadaan
lewat jenuh. Jumlah panas yang terserap dalam proses kristalisasi merupakan
jumlah panas yang dbutuhkan untuk menurunkan suhu suatu larutan ditambahkan
dengan panas yang dibutuhkan untuk melarutkan kristal itu.
Ada dua cara terbentuknya kristal gula :
- secara spontanitas. Kristal terbentuk secara tiba-tiba karena adanya suhu tinggi pada kondisi jenuh. Adanya panas, akan menguapkan air yang menyelimuti partikel gula, sehingga partikel gula semakin dekat dan dengan sendirinya akan membentuk kristal.
- Dengan seeding / pembibitan. Caranya adalah dengan menambahkan inti gula. Dengan adanya inti kristal, maka akan memacu terbentuknya kristal gula.
(Sugiyarto, 1991)
e. Pemisahan Kristal Gula
Biasanya dilakukan dengan menggunakan saringan yang
bekerja dengan gaya sentrifugal. Pada prinsipnya, yaitu memisahkan kristal dan
larutannya dengan memakai gaya sentrifugal, maka kristal-kristal akan tertahan,
sedangkan larutannya akan menerobos melalui rongga antara kristal dengan
saringan (Yuda, 1992). Adapun tahapan pemisahan gula antara lain: pertama,
penghilangan larutan yang ada di sekitar kristal gula dan yang mngisi pori-pori
antar kristal. Kedua, penghilangan sisa larutan yang masih tertinggal diantara
kristal sehingga hanya lapisan larutan yang menempel pada kristal. Ketiga,
mengurangi jumlah atau ketebalan lapisan kotoran yang tertinggal pada permukaan
kristal. Hasil dari proses pemisahan kristal adalah kristal gula dan molase
(tetes) (Sugiarto, 1991).
f.
Pengeringan dan Pengemasan
Kristal gula yang dihasilkan dari stasiun kristalisasi
masih mengandung air, sehingga diperlukan proses pengeringan untuk
menghilangkan air tersebut. Pengeringan biasanya dilakukan dengan cara
mengaliri kristal-kristal gula tersebut dengan udara panas, yang bersuhu 800C.
Kemudian setelah kristal-kristal gula tersebut kering dilakukan penyimpanan
dalam gudang selama menunggu proses pengangkutan. Kristal-kristal gula
sebaiknya dikemas dalam kemasan plastik atau karung goni, agar terlindung dari
lingkungan yang buruk. Untuk mempermudah pengiriman, maka wadah harus diberi
etiket dengan huruf besar yang memberikan perincian mengenai barang, jenis,
berat, mutu dan asalnnya (Soejardi, 1971).
BAB 3. METODOLOGI PRAKTIKUM
3.1 Alat dan Bahan
3.1.1 Alat
- refraktometer
- beaker glass
- alat pemanas
- pengaduk magnetik
- kertas pH universal
- colour reader
- neraca
- ayakan 16, 18, 20, 30, 50
mesh
- buret
- plastik bening
3.1.2 Bahan
- nira tebu
bersama kulitnya
- nira tebu yang
dikupas kulitnya
- larutan
kapur
- gula curah
- gulapas
- larutan
iodium
3.2 Skema
Kerja
3.2.1 Penentuan Derajat Brix Gula
3.2.1
Defekasi
3.2.3 Warna (kecerahan) GKR
3.2.4 Besar jenis butir
GKP
3.2.5 Residu (SO2)
3.2.5.1 Larutan Iodium ≈ 0,2 mg SO2
3.2.5.2
Penentuan residu SO2
Blanko
Sampel
BAB 4. HASIL
PENGAMATAN DAN HASIL PERHITUNGAN
4.1 Hasil Pengamatan
4.1.1 Derajat brix nira dan defekasi
Jenis nira
|
Derajat brix
|
Derajat brix setelah defekasi
|
Nira tebu bersama kulitnya
|
1. 20
|
1. 21,1
|
2. 20
|
2. 21
|
|
3. 20
|
3. 21
|
|
Nira tebu dikupas kulitnya
|
1. 21
|
1. 23
|
2. 21,3
|
2. 23
|
|
3. 21,2
|
3. 23
|
4.1.2
Warna (kecerahan) gula kristal
putih
Gula kristal putih
|
Nilai L
|
Gula Merah
|
Nilai L
|
A
(Putih)
|
1. 38,8
|
C
(Agak kuning)
|
1. 30,9
|
2. 40,3
|
2. 27,0
|
||
3. 38,7
|
3. 30,0
|
||
B
(Agak
coklat)
|
1. 35,9
|
D
(Coklat)
|
1. 22,4
|
2. 38,3
|
2. 22,5
|
||
3. 37,0
|
3. 22,6
|
4.1.3
Berat jenis butir gula kristal
putih
Gula kristal putih
|
Barat (gram) ulangan 1
|
Berat (gram) ulangan 2
|
A. Gupalas
|
Fraksi 1: 12,60
|
Fraksi 1: 11,16
|
Fraksi 2: 1,81
|
Fraksi 2: 1,63
|
|
Fraksi 3: 23,23
|
Fraksi 3: 23,06
|
|
Fraksi 4: 11,59
|
Fraksi 4: 15,03
|
|
Fraksi 5: 7,88
|
Fraksi 5: 6,91
|
|
Fraksi 6: 0,65
|
Fraksi 6: 0,33
|
|
B. Gula Curah
|
Fraksi 1: 10,80
|
Fraksi 1: 14,60
|
Fraksi 2: 25,03
|
Fraksi 2: 25,64
|
|
Fraksi 3: 3,20
|
Fraksi 3: 0,10
|
|
Fraksi 4: 18,90
|
Fraksi 4: 18,10
|
|
Fraksi 5: 1,99
|
Fraksi 5: 1,65
|
|
Fraksi 6: 0,08
|
Fraksi 6: 0,12
|
4.1.4
Residu belerang oksida
1
ml iod setara dengan = 0,021 SO2/ml Ā
= standart
Berat contoh = 25 gram
Gula
|
Titran (ml)
contoh
|
Titran
(ml) blanko
|
Gula
kristal putih A
|
1. 3,0
|
1. 2,9
|
2. 2,4
|
2.4,2
|
|
Gula
kristal putih B
|
1. 17,1
|
1.
|
2. 5,4
|
2.
|
|
Gula
kristal putih A
|
1.
|
1.
|
2.
|
2.
|
|
Gula
kristal putih B
|
1.
|
1.
|
2.
|
2.
|
Standar
mL Tio
|
mL Tio x 0,2025
|
mL Tio x 0,2025/40
|
Rata-rata
|
4,4
|
0,891
|
0,022
|
0,023
|
5,4
|
1,093
|
0,027
|
|
3,7
|
0,749
|
0,019
|
4.2 Hasil Perhitungan
4.2.1 Derajat
brix nira dan defekasi
Jenis nira
|
Derajat brix Rata- rata
|
Derajat brix setelah defekasi
Rata- rata
|
Nira tebu bersama kulitnya
|
20
|
21.033
|
Nira tebu dikupas kulitnya
|
21,167
|
23
|
4.2.2. Warna (kecerahan) gula kristal putih
Gula kristal putih
|
Nilai L
|
Gula Merah
|
Nilai L
|
A
(Putih)
|
39,267
|
C
(Agak kuning)
|
29,3
|
B
(Agak coklat)
|
37,067
|
D
(Coklat)
|
22,5
|
4.2.3
Berat jenis butir gula kristal putih
Gula Kristal Putih
|
Ulangan ke-
|
Berat jenis butir (BJB)
|
Rata- rata Berat jenis butir (BJB)
|
% BJB
|
Gula Curah
|
1
|
0,83
|
0,84
|
1,40%
|
2
|
0,84
|
|||
Gupalas
|
1
|
0,94
|
0,95
|
1,58%
|
2
|
0,96
|
4.2.4 Residu belerang oksida
Gula
|
Kadar SO2
(ppm)
|
Gula
kristal putih A
|
-0,782
|
Gula
kristal putih B
|
7,084
|
BAB 5.
PEMBAHASAN
1.1
Skema Kerja dan Fungsi Perlakuan
Pada praktikum teknologi pengolahan gula ini
dilakukan lima sub bab acara yakni : penentuan derajat brix nira, defekasi,
penentuan warna (kecerahan) gula kristal putih, penentuan berat jenis butir
gula kristal putih dan penentuan residu belerang oksida (SO2).
Pada sub bab
pertama adalah penentuan derajat brix nira, digunakan dua sampel berupa
dua jenis nira tebu (nira tebu yang dikupas dan tidak dikupas), perbedaan
perlakuan berfungsi untuk mengetahui besarnya
derajat brix nira (jumlah
zat padat terlarut dalam 100 gram larutan) yang ada pada masing-masing nira. Masing-masing nira diteteskan pada
refraktometer. Untuk mengetahui derajat brix pada nira, refrakto meter akan
menganalisa derajat brix nira brdasarkan indeks
bias nira. Pengamatan dilakukan sebanyak tiga kali dan
hasilnya di rata-rata, agar hasil yang didapatkan akurat. Lalu, dilakukan perbandingkan
derajat brix kedua jenis nira.
Pada sub bab dua adalah defekasi yakni pemurnian larutan nira dengan kapur. Sampel yang digunakan adalah nira yang sama dengan sub bab pertama yakni : nira tebu dikupas dan tidak dikupas. Lalu dipanaskan hingga suhunya 700C
untuk mengendapkan komponen bukan gula sehingga dapat meringankan kerja kapur susu sehingga optimal. Kemudian ditambah susu kapur hingga pH 7
(netral), tujuannya untuk menjernihkan nira dan supaya pH nira menjadi netral. Fungsi
penambahan susu kapur adalah untuk menangkap komponen bukan gula sehingga terbentuk flokulan selanjutnya flokulan akan diendapkan untuk dibuang. Kemudian dipanaskan lagi selama 15 menit sambil diaduk, agar tidak
terjadi karamelisasi. Kemudian nira didinginkan, pendinginan berfungsi untuk
mengendapkan komponen bukan gula dan diteteskan pada refraktometer untuk mengamati
derajat brix (jumlah zat padat terlarut dalam 100
gram larutan). sebanyak tiga kali pengamatan. Kemudian dibandingkan
antara sebelum defekasi dan sesudah defekasi untuk mengetahui kandungan gula pada
dua jenis nira.
Pada sub bab tiga adalah penentuan warna (kecerahan) gula kristal putih.
Dipakai dua sampel gula GKP berwarna putih dan GKP berwarna
agak coklat. Sampel dimasukkan dalam plastik bening, plastik
berfungsi sebagai tempat agar pengukurannya lebih mudah. Dilakukan pengamatan
sebanyak tiga kali menggunakan color reader untuk mengetahui tingkat kecerahan masing-masing
gula agar hasilnya lebih akuat. Kemudian dilakukan
perbandingan derajat kecerahan warna sampel, apabila warna GKP putih akan menghasilkan tingkat
kecerahan lebih tinggi.
Pada sub bab empat adalah penentuan berat jenis butir gula kristal putih. Ayakan
disusun sesuai ukuran mesh dari yang memiliki jumlah lubang paling sedikit
hingga paling banyak 16, 18, 20, 30, 50 mesh. Hal ini bertujuan untuk mengetahui fraksi berat pada tiap-tiap mesh dan berat jenisnya. Kemudian dua sampel GKP (gula curah dan gupalas) ditimbang 60 gram. Lalu
dilakukan pengayakan selama 10 menit agar proses maksimal sehingga terbentuk fraksi pada tiap ayakan. Hasil
ayakan ditimbang dan dilakukan perhitungan persentasi fraksi dan berat jenis gula, dibandingankan dengan SNI gula kristal putih untuk
mengetahui mutu GKP yang diuji.
Pada sub bab lima adalah penentuan kadar SO2
(belerang dioksida). Yang pertama adalah pembuatan larutan Iodium 0,2 mg SO2 ditimbang 6,0 g KI yang berfungsi untuk melarutkan Iod. KI (kristal) dilarutkan dalam air sehingga terbentuk KI (liquid). Ditambahkan
0,8 g Iod untuk
mengetahui perbandingan SO2 dalam 1 ml Iodium.
Lalu didiamkan selama 24 jam hingga terbentuk larutan Iod untuk memaksimalkan proses. Larutan
ini yang kemudian akan dijadikan sebagai titer dalam penentuan belerang
dioksida. Larutan Iod di pipet 40 ml, dimasukkan Erlenmeyer
250 ml lalu ditambahkan 25 ml Aquades untuk mengencerkannya. Dilakukan titrasi dengan larutan tiosulfat 0,1 N hingga warnanya pucat dan ditambahn 10 ml indikator berupa pati sebagai indikator terbentuknya warna
biru karena larutan Iod akan berikatan dengan thiosulfat, pati berikatan dengan Iodin (warna biru), dilakukan
titrasi hingga warna biru hilang. Hasil dari titrasi merupakan (ml
thiosulfat standar), perhitungan dilakukan sehingga nilai A atau jumlah SO2
yang sebanding dengan 1 ml iod dapat
diketahui.
Kedua
dilakukan pembuatan blanko sebanyak 2 kali agar
hasil yang didapatkan lebih akurat. Pertama 150 ml aquades ditambah
10 ml indikator pati dan 10 ml HCl karena pada kondisi asam kepekaan adanya Iod
lebih optimal. Kemudian dititrasi dengan Iod hingga warnanya berubah ungu muda
dan dicatat ml titrasi sebagai v ml. Akan terjadi
ikatan antara titran dengan indikator pati. Adanya ikatan ditandai dengan warna ungu muda dan titrasi harus segera dihentikan. Hasil warna ini digunakan untuk standar dalam warna titrasi pada sampel
GKP. Sebanyak 25 gram sampel dilarutkan
dalam 150 ml aquades. Lalu ditambah 10 ml indikator pati dan 10 ml HCl agar kepekaan
adanya Iod lebih maksimal. Lalu di titrasi dengan larutan Iod hingga warnanya
ungu muda kemudian dicatat ml titrasi sebagai t ml.
1.2
Prinsip Kerja Refraktometer dan Colour Reader
1.2.1
Prinsip Kerja Refraktometer
Refraktometer Refractometer adalah
alat yang digunakan untuk mengukur konsentrasi bahan terlarut misalnya : Gula,
Garam, Protein dsb. Semakin kecil sudut
refraksi maka semakin besar konsentrasi.
Prinsip kerja refraktometer adalah dengan memanfaatkan refraksi cahaya, cahaya
polikromatis dari sinar lampu akan menyinari day light plate. Larutan yang diletakkan di atas prisma akan terkena cahaya polikromatis yang diteruskan ke prisma. Kemudian cahaya polikromatis diubah
menjadi cahaya monokromatis sehingga terjadi pemfokusan pada lensa, dan deiteruskan ke biomaterial skip, dan tertera skala. Skala dibaca menggunaka mata dari eye pieces.
Bagian-Bagian
refraktometer
1. Day Light Plate
Berfungsi untuk mencegah prisma tergores oleh debu atau benda asing, dan agar sample yang
diteteskan pada prisma tidak tumpah karena terbuat dari kaca.
2.
Lensa
Berfungsi memfokuskan cahaya dan berada dalam bagian
handle.
3. Biomaterial Skip
Berfungsi menstabilkan suhu berkisar
antara 200C.
4. Skala
Berfungsi dalam pembacaan specific
grafity atau rapatan jenis. indeks refraksi
5.
Prisma
Berfungsi membaca skala
atau indeks bias dari zat terlarut dan mengubah cahaya polikromatis menjadi
monokromatis.
6.
Knop Pengatur Skala
Berfungsi dalam mengkalibrasi alat. Cara kalibrasi yaitu menggunakan aquades, obeng minus diletakkan pada knop pengatur skala, lalu diputar hingga
specific grafity menunjukkan nilai 1.000.
7. Handle
Berfungsi sebagai area pegangan refraktometer dan menjaga suhu tetap stabil. Handle terbuat dari
bahan karet karena karet merupakan bahan isolator yang tahan terhadap panas sehingga dapat menjaga kestabilan suhu.
8. Lensa Pembesar
Berfungsi mengatur ketajaman skala.
9. Eye Pieces
Berfungsi untuk melihat pembacaan skala.
5.2.2 Prinsip Kerja Color Reader
Color reader adalah suatu alat yang digunakan untuk
mengukur warna bahan kususnya mengukur tingkat kecerahan
bahan. Prinsip kerja Colour Reader adalah memperkecil
efek penghamburan
dan pemantulan radiasi elektromagnetik yang mengenai suatu substansi, sehingga radiasi yang diserap dan
diteruskan tetap menjadi
proporsi terbesar. Pada digital
color reader terdapat lambang L, a, dan
b. (L) menyatakan lightnees
atau kecerahan, rangenya antara 0 sampai 100. Angka 100 didefisinikan sebagai
warna cerah (putih) sedang 0 sebagai hitam. Sedangkan a dan b tidak dibatasi oleh angka yang
specific. Bila nilai a menunjukkan + maka benda semakin merah. Bila a- benda
atau obyek akan semakin hijau. Begitu pula dengan b, bila (+) akan makin
kuning, akan makin biru (Taruna, 2009).
Berikut adalah gambar Colour Reader :
5.3 Analisa Data
Pada penentuan nilai derajat nilai derjat brix nira
sebelum defekasi dan sesudah defekasi diperoleh : pada nira sebelum defekasi nira
tebu yang tidak dikupas pada 3x pengulangan adalah 20 dan setelah dikupas
berturut-turut adalah 21,1; 21; dan 21. Sehingga didapatkan rata-rata derajat
brixnya adalah 20 dan 21,033. Sedangkan pada nira yang dikupas kulitnya derajat
nilai derjat brix nira sebelum defekasinya berturut-turut adalah 21; 21,3; dan
21,2. Setelah defekasi pada 3x pengulangan adalah 23. Sehingga didapatkan
rata-rata derajat brixnya adalah 21,167 dan 23. Dari data tersebut terlihat
bahwa dengan dilakukannya defekasi dapat meningkatkan derajat brix pada nira
baik pada nira tebu yang dikupas ataupun tidak. Sehingga dapat disimpulkan
bahwa proses defekasi dapat mengurangi komponen-komponen bukan gula yang ada
pada nira sehingga derajat brix (jumlah zat padat terlarut dalam gr pada 100 gr
larutan) akan meningkat. Pada sampel nira yang tidak dikupas kadar gulanya
lebih rendah karena masih terdapat kulit yang mengandung komponen seperti
selulosa dan lignin yang mempersulit alat ekstraksi untuk mengekstrak gula dari
tebu sehingga dapat menguragi kandungan gulanya. Proses defekasi dapat
digunakan untuk memurnikan/menjernihkan nira sebelum proses selanjutnya agara
diperoleh gula yang lebih banyak dan bebas dari kotoran dan komponen lain yang
tidak diinginkan dan berbahaya.
Pada pengamatan warna (kecerahan) gula kristal putih
pada sampel A (putih) nilai rata-rata L adalah 39,26; pada sampel B (agak
coklat) adalah 37,067; pada sampel C (agak kuning) adalah 29,3; sampel D
(coklat) adalah 22,5. Dari data tersebut dapat disimpulkan bahwa dengan semakin
putih dan cerah warna gula maka nilai L nya juga akan semakin tinggi dan begiu
pula sebaliknya dengan semakin gelap dan coklat warna gula maka menyatakan
nilai L yang semakin rendah/kecil. Dengan semakin tingginya nilai kecerahan
dapat disimpulkan pula bahwa proses pemurnian niranya semakin baik sehingga
dapat menghilangkan kotoran dan komponen bukan gula yang tidak diinginkan dan
dapat dihasilkan gula kristal putih yang memiiki warna putih yang cerah dan
bersih.
Pada pengujian berat butir gula kristal putih pada
gula curah dengan ulangan 2 kali diperoleh rata-rata berat jenis butir (BJB)
sebesar 0,84 dan % BJB sebesar 1,40% sedangkan
pada sampel Gulapas sebesar 0,95 dan % BJB sebesar 1,58%. Dari data tersebut
terlihat bahwa gula curah memiliki berat jenis butir yang lebih rendah dari
Gulapas yang merupakan guka kemasan produksi PTPN. Berat jenis butir menyatakan
mutu gula sesuai SNI gula kristal putih menyatakan GKP1 dan GKP2 harus memiliki
nilai BJB sebesar 0,8-1,2 mm. Sehingga sampel gula curah dan Gulapas dapat
masuk kualifikasi kualitas GKP1 atau GKP2. Namun mutu gula kristal puth tidak
hanya ditentukan oleh BJB saja, namun dengan parameter-parameter lain. Sehingga
kualifikasi mutu gula kristal dapat diketahui dan konsumen tidak merasa dirugikan
dengan kualitas gula kristal putih yang digunakan.
Pada analisa residu belerang oksida diperoleh nilai
kadar SO2 pada gula
kristal putih A (putih) sebesar -0,782 ppm sedangkan pada gula
kristal putih B (agak coklat) sebesar 7,084 ppm. Dari hasil tersebut dapat disimpulkan bahwa gula
kristal putih A tidak terdapat residu belerang oksida dan pada gula
kristal putih B terdapat residu belerang oksida namun
masih ada dalam rentan konsentrasi yang dapat diterima dan tidak membayakan
kesehatan konsumen. Menurut SNI GKP, gula kristal putih A dan B dapat
dikualifikasikan dalam GKP1 aau GKP2 karena masih dapat ditoleransi pada SNI
maksimal residu belerang oksida yang diperbolehkan adalah maksimal 30 mg/kg.
5.4 Mengapa Metode Analisis Residu Sulfit Tidak Dapat Digunakan
pada Sampel Gula Merah
Metode analisis residu sulfit tidak dapat digunakan
pada sampel gula merah karena pada sampel gula merah memiliki warna yang gelap
sehingga apabila dilakukan analisa maka perubahan warna ungu sampel yang
menyatakan bahwa proses analisa berakhir tidak akan terlihat. Hal ini
menyebabkan sulitnya analisa ini diterapkan pada sampel gula merah dan dapat
menyebabkan analisa yang dilakuakan tidak akan menghasilkan data yang valid.
BAB 6. PENUTUP
6.1 Kesimpulan
Kesimpulan
pada praktikum ini adalah :
1. Gula merupakan senyawa kimia yang termasuk golongan
karbohidrat yang mempunyai rasa manis dan larut dalam air, serta mempunyai
sifat optis aktif yang dapat dijadikan ciri khas untuk mengenal setiap gula.
2. Sukrosa
merupakan gabungan dari α-D-glukopyranosil/glukosa dan
β-D-fruktofuranosil/fruktosa.
3. Dalam proses pengolahan
nira menjadi gula, ada beberapa tahapan antara lain: ekstraksi
nira, Penjernihan,
Penguapan (evaporasi), Kristalisasi, Pemisahan Kristal, dan Pengeringan dan
Pengemasan.
4. Defekasi dapat meningkatkan
derajat brix pada nira baik pada nira tebu yang dikupas ataupun tidak.
5. Semakin putih dan cerah
warna gula maka nilai L nya juga akan semakin tinggi.
6. Dengan semakin tingginya
nilai kecerahan dapat disimpulkan pula bahwa proses pemurnian niranya semakin
baik.
7. Gula curah memiliki kualitas
yang lebih rendah karena memiliki berat jenis butir yang lebih rendah dari
Gulapas.
8. Gula kristal putih A
(putih) tidak terdapat residu belerang oksida dan pada gula
kristal putih B (agak coklat) terdapat residu belerang
oksida namun masih ada dalam rentan konsentrasi yang dapat diterima dan tidak
membayakan kesehatan konsumen.
6.2 Saran
Untuk alat sebaiknya ditambah agar praktikum dapat
berjalan dengan baik dan lebih mengevisienkan waktu.
DAFTAR PUSTAKA
Buckle, K.A. 1987. Ilmu Pangan.
Jakarta : UI – Press.
Goutara dan Wijadi. 1975. Dasar
Pengolahan Gula I. Fakultas Teknologi Pertanian. Bogor: Institut
Pertanian Bogor.
Honig, P. 1953. Principle of Sugar Technology, Vol. I. London : Elseiver Publishing
Co.
Kuswuri, R.
2008. Sukrosa dan Sifatnya. http://www.risvank.com/2008/05/sukrosa-dan-sifatnya/ [15 November 2010].
Moerdokusumo, A. 1993. Pengawasan Kualitas dan Teknologi
Pembuatan Gula Di Indonesia. ITB Bandung.
Bandung.
Soejardi. 1971. Teknologi Gula Proses Kristalisasi dalam Pangan Masakan. Jakarta :
LPP.
Sugiyarto. 1991. Proses Pengolahan Gula. Jember : POLTEK Universitas Jember.
Yuda, C. 1992. Proses Pengolahan Gula di PTPN XI PG Olehan. Situbondo : PG Olehan
Yuwanti, S. 2012. Teknologi Pengolahan Gula Handout. Jember : FTP UNEJ