ANALISIS BAHAYA DAN
PENENTUAN TITIK KENDALI KRITIS
”KOPI INSTAN NESTLE”
disusun guna memenuhi tugas praktikum mata
kuliah Pengendalian Mutu Pangan
Oleh :
Kelompok 7
1. Anis Suhariati 101710101011
2. Titik Khoiriyah 101710101039
3. Tri Yuli Islamiyah 101710101058
4. Frida Maslikhah 101710101064
JURUSAN TEKNOLOGI HASIL PERTANIAN
FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN
UNIVERSITAS JEMBER
2012
BAB 1. PENDAHULUAN
1.1 Karakteristik Produk
Kopi
instan dibuat dari kopi bubuk yang diekstrak dengan menggunakan air. Di dalam
Encyclopedia Britanica (1983), disebutkan bahwa pada pembuatan kopi instan,
sejumlah konsentrasi kopi cair dipekatkan. Hal ini dilakukan dengan menggunakan
pengeringan semprot dari konsentrasi kopi tersebut, menggunakan udara panas,
mengeringkannya pada keadaan vacuum, atau dengan lyophilization (pengeringan
dingin). Operasi dari pembuatan kopi instan lebih kompleks dan beragam pada
berbagai perusahaan yang memproduksinya.
Kopi
instan dapat larut baik pada air panas maupun dingin, tanpa pembentukan buih,
serta memiliki aroma dan rasa menyerupai masakan kopi segar. Siswoputranto (1978), menyatakan bahwa kopi instan
dihasilkan dari ekstraksi kopi bubuk, hasil biji kopi yang telah disangrai,
melalui percolator-percolator ukuran pabrik yang ukuran diameternya bisa
mencapai 6,5 m. Ekstraksi dilakukan dengan air panas dan tekanan. Diperoleh
produk agak padat yang disebut liquor yang kemudian disaring melalui filterfilter
dan kemudian dikeringkan. Cara ekstraksi ini bisa mencapai rendemen antara 35%
- 50%.
Lebih
lanjut Siswoputranto (1978), menyebutkan pengeringan liquor menjadi
serbuk-serbuk kopi dilakukan melalui proses spray drying atau freeze
drying yang ditemukan dan dipergunakan secara komersial baru sejak tahun
1960-an. Produknya adalah kopi instan yang mudah diseduh.
1.2 Komposisi
produk
Pada kopi instan terdapat
beberapa komposisi gizi, diantaranya adalah :
No
|
Komponen Kimia
|
Persentase (%)
|
1
|
Karbohidrat (3-5% gula pereduksi)
|
35.0
|
2
|
Lemak (beserta asam lemak)
|
0.2
|
3
|
Protein (asam amino dan kompleksnya)
|
4.0
|
4
|
Abu (oksida)
|
14.0
|
5
|
Asam non volatil
·
Chlorogenic
·
Cafeic
·
Quinic
·
lainnya
|
13.0
1.4
1.4
3.0
|
6
|
Trigonellin
|
3.5
|
7
|
Kafein
·
Arabika
·
Robusta
|
3.5
7.0
|
8
|
Phenol
|
5.0
|
9
|
Komponen volatil lainnya
· Sebelum pengeringan
· Sesudah pengeringan
|
1.1
-
|
(Dimas, 2011)
1.3 Pengemas Primer
Kemasan
primer, yaitu kemasan yang langsung bersentuhan dengan produk yang
dibungkusnya. Sehingga bisa saja terjadi migrasi komponen bahan kemasan ke
makanan yang berpengaruh terhadap rasa, bau, dan warna.
Biji kopi sangrai atau kopi bubuk dikemas dalam kemasan
aluminium foil dan dipress panas. Kesegaran, aroma dan citarasa kopi bubuk atau
kopi sangrai akan terjaga dengan baik pada kemasan vakum supaya kandungan
oksigen di dalam kemasan minimal. Untuk mempermudah pemasaran dan distribusi ke
konsumen, kemasan kopi bubuk atas dasar jenis mutu, ukuran kemasan dan bentuk
kemasan dimasukkan dan dimuat di dalam kardus [karton]. Kardus diberi nama
perusahan, merek dagang dan label produksi yang jelas. Tumpukan kardus kemudian
disimpan di dalam gudang dengan sanitasi, penerangan dan ventilasi yang cukup (Syarief, R, 1989).
1.4 Pengemas Sekunder
Kemasan
sekunder, yaitu kemasan yang fungsi utamanya melindungi kelompok-kelompok
kemasan lain. Misalnya kotak karton
untuk wadah susu dalam kaleng, kotak kayu untuk buah yang dibungkus, keranjang
tempe dan sebagainya. Pada pengemas sekunder kopi instan berupa kardus atau
kotak karton (Syarief, R, 1989).
1.5 Metode Penyimpanan
Sebelum biji kopi di olah
menjadi produk kopi instan, biji kopi
harus disimpan pada tempat penyimpanan yang tidak lembab, sejuk, kering, dan
terlindung dari cahaya. Kopi instan memiliki sifat yang mudah
menyerap air, sehingga penambahan kadar air selama penyimpanan dapat menurunkan
mutu kopi yang disimpan. Penurunan kandungan kimia produk kopi instan terjadi
pada kadar lemak, dan kadar protein. Karakteristik mutu yang relatif tetap
selama penyimpanan meliputi kadar abu, tingkat kecerahan bubuk kopi instan,
tingkat kecerahan seduhan kopi, dan waktu penyeduhan. Oleh karena itu perlu
adanya suatu metode penyimpanan yang sesuai agar produk kopi instan memiliki
umur simpan yang panjang.
Metode yang dilakukan
dengan menurunkan kadar air kopi cair dengan memekatkannya. Hal ini dilakukan
dengan menggunakan pengeringan semprot dari konsentrasi kopi tersebut
menggunakan udara panas, mengeringkannya pada keadaan vakum. Kopi yang telah
melalui proses pengeringan baru bisa di kemas menggunakan pengemas yang sesuai.
Kemasan standar yang
digunakan adalah kertas membran atau alumunium foil serta yang paling penting
adalah pengemasan harus dalam keadaan vakum.
Selama penyimpanan dan
distribusi terdapat faktor-faktor lingkungan seperti suhu, kelembaban,
kandungan oksigen, dan cahaya dapat memicu beberapa reaksi yang dapat
menyebabkan penurunan mutu produk tersebut. Sebagai konsekuensinya produk
pangan dapat ditolak oleh konsumen atau dapat membahayakan kesehatan konsumen.
Peningkatan kadar air dapat disebabkan adanya permeabilitas bahan kemasan
produk terhadap uap air, sifat bahan-bahan yang terdapat pada produk kopi
instan yang higroskopis sehingga cenderung mengadsorbsi uap air dari udara dan
tingkat kelembaban udara lingkungan terhadap produk. Selama masa penyimpanan
juga dapat terjadi reaksi oksidasi terhadap lemak yang dikandung produk kopi
instan. Reaksi oksidasi ini akan menguraikan lemak menjadi gliserol dan asam
lemak. Penurunan nilai kadar protein pada produk kopi instan yang terjadi
selama masa penyimpanan relatif kecil. Kenaikan kadar air akan meningkatkan
nilai aw produk. Pada nilai aw yang cocok, mikroorganisme dapat tumbuh dan
berkembang biak. Peningkatan jumlah mikroba pada produk kopi instan
berbeda-beda selama masa penyimpanan.
Metode penyimpanan produk
harus diperhatikan agar mutu produk tidak mudah menurun. Misalnya dengan mengkondisikan
pengemas yang vakum, bahan pengemas dari bahan yang berkualitas dan foodgrade,
pengemas tidak berlubang atau bocor, dapat melindungi produk dari lingkungan
luarnya, memberikan pengemas primer dan sekunder untuk melindungi produk ketika
proses distribusi yakni berupa pengemas primer alumunium foil dan pengemas sekunder karton, tempat penyimpanan harus bersih, kering, memiliki
kelembaban relatif yang rendah, dan terlindung dari cahaya, dll sehingga produk
dapat awet hingga hingga umur simpannya berakhir umumnya dua tahun dari waktu
produksi.
1.6 Cara Distribusi Perusahaan
Persaingan industri kopi instan semakin ketat,
hal ini dapat dilihat dari banyaknya produk-produk kopi instan baru yang
bermunculan dan saling menawarkan kelebihannya. Perusahaan memiliki cara
distribuusi yang beragam mulai dari produk yang siap untuk dipasarkan hingga
produk sampai ke tangan konsumen. produk didistribusikan ke beberapa daerah
yang ada di indonesia. Pada agen
penjual hingga pada konsumen kondisi tempat penyimpanannya juga harus
diperhatikan agar kopi instan dapat bertahan sesuai dengan umur simpan yang
tertera pada kemasan produk. Hal tersebut dilakukan agar mutu produk kopi
instan yang diproduksi tidak mengalami penurunan mutu. Produk biasanya
didistribusikan pada agen-agen toko penjua kecil dan besar serta supermarket.
1.7 Masa Kadaluarsa Kopi Instant
Kopi instant merupakan salah satu minuman yang tak asing lagi
dikalangan masyarakat, hal ini ditunjukkan dengan semua lapisan sosial
masyarakat yang ada dapat menikmati kopi instant yang sudah banyak diproduksi
oleh industri-indusrti pangan. Kopi pada dasarnya memiliki kriteria penyimpanan
yaitu pada suh 20 C – 25 C dg kelembaban 50 – 70%, hal ini dikarenakan jika suhu penyimpanan
terlalu rendah beserta kelembapannya juga rendah maka kopi instant akan
terserang jamur. Masa kadaluarsa pada produk kopi instant yang baik yaitu 1 tahun setelah pengemasan
produksi berlangsung, jika produksi dilakukan pada tanggal 12 Desember 2010 maka
masa kadaluarsanya 12 Desember 2011. Akan tetapi akan lebih baik jika konsumen
menggunakan terakhir konsumsi 1 bulan sebelum masa kadaluarsa habis. Hal ini
dikarenakan untuk meminimalisir keadaan yang tidak diinginkan, misalnya diare
atau asam lambung dan lain sebagainya. Masa kadaluarsa pada kopi instant
penting untuk dicantumka dalam label ata kemasan produk, hal ini dikarenakan
agar konsumen bisa lebih berhati-hati sebelum membeli dan terlebih lagi ketika
mengkonsumsi. Dengan demikian masa kadaluarsa berperan penting dalam industri
kopi instan yang ada. Kopi instant yang telah melewati masa kadaluarsanya
biasanya akan terserang jamur yang menempel pada bubuk, hal ini dikarenakan
bubuk kopi instant yang mulai menggumpal karena bereaksi dengan udara yang
mengandung air, sehingga bubuk terserang jamur. Biasanya jamur menempel pada
gumpalan bubuk kopi yang warnanya menjadi hitam kehijauan. Spora jamur yang
menempel pada kopi bubuk menyebabkan kopi tidak dapat dikonsumsi, atau bahakan dapat
berbahaya jika dikonsumsi.
1.8 Persyaratan konsumen
Pada umumnya untuk mengkonsumsi kopi instant harus ditinjau
terlebh dahulu kondisi dan usia konsumen. Kopi instant tidak baik dikonsumsi
oleh anak-anak yang berusia 20 tahun kebawah, hal ini dikarenakan kandungan
kafein yang kurang toleran pada pencernaan dan kondisi mnusia berusia 20 tahun
kebawah. Dengan demikian kopi instant hanya boleh dikonsumsi oleh usia dewasa
dan lanjut usia. Pertimbangan lainnya yaitu persyaratan kondisi kesehatan
konsumen yang mengkonsumsi, bila konsumen memiliki kadar asam lambung tinggi
makan disarankan untuk tidak mengkonsumsi kopi instant hal ini dikarenakan kopi
dapat meningkatkan kadar asam lambung sehingga kemungkinan konsumen akan
mengalami mag akut, dengan demikian dapat berpeluang terjadinya masalah lambung
. Serta konsumen yang memiliki penyakit gangguan fungsi ginjal. Hal ini
dikarenakan kadar sari pada kopi instant yang terlarut dalam seduhan kopi dapat
menghambat kerja ginjal untuk mengabsorbsi, sehingga daya kerja ginjal
meningkat. Ini sangat membahayakan bagi konsumen yang memiliki gangguan ginjal.
Pada perkembangan pengolahan kopi instant yag terus berkembang didapatlah kopi
instant berbubuk warna putih atau lebih sering kita kenal dengan white coffea,
kopi instat jenis ini memiliki kandungan kafein yang sangat rendah atau telah
mengalami dekafeinasi (pengurangan kadar kafein) sehingga tidak terlalu
membahayakan konsumen yang kurang toleran terhadap kopi.
BAB
2. PEMBAHASAN
2.1 Analisis Proses Penggunaan HACCP Produk
HACCP adalah suatu alat (tools)
yang digunakan untuk menilai tingkat bahaya, menduga perkiraan risiko dan
menetapkan ukuran yang tepat dalam pengawasan, dengan menitikberatkan pada
pencegahan dan pengendalian proses dari pada pengujian produk akhir yang
biasanya dilakukan dalam cara pengawasan tradisional.
Hazard Analysis, adalah analisis bahaya atau kemungkinan adanya risiko bahaya
yang tidak dapat diterima. Bahaya disini adalah segala macam aspek mata rantai
produksi pangan yang tidak dapat diterima karena merupakan penyebab masalah
keamanan pangan. Bahaya tersebut meliputi :
·
Keberadaan
yang tidak dikehendaki dari pencemar biologis, kimiawi, atau fisik pada bahan
mentah.
·
Pertumbuhan
atau kelangsungan hidup mikroorganisme dan hasil perubahan kimiawi yang tidak
dikehendaki (misalnya nitrosamin) pada produk antara atau jadi, atau pada
lingkungan produksi.
·
Kontaminasi
atau kontaminasi ulang ( cross contamination) pada produk antara atau
jadi, atau pada lingkungan produksi.
Critical Control Point (CCP atau titik pengendalian kritis), adalah langkah dimana
pengendalian dapat diterapkan dan diperlukan untuk mencegah atau menghilangkan
bahaya atau menguranginya sampai titik aman (Bryan, 1995). Titik pe ngendalian
kritis (CCP) dapat berupa bahan mentah, lokasi, praktek, prosedur atau
pengolahan dimana pengendalian dapat diterapkan untuk mencegah atau mengurangi
bahaya. Ada dua titik pengendalian kritis:
·
Titik
Pengendalian Kritis 1 (CCP-1), adalah sebagai titik dimana bahaya dapat
dihilangkan.
·
Titik
Pengendalian Kritis 2 (CCP-2), adalah sebagai titik dimana bahaya dikurangi. (BSN,1998)
Adapun konsep HACCP
dalamCodex (1997), Forsythe dan Hayes (1998),
SNI 01-4852-1998 (1998), terdiri dari 7(tujuh) prinsip
yaitu:
1) Analisis potensi
bahaya (hazards).
2) Identifikasi
titik-titik kritis (critical
control point ), dilakukan dengan menggunakan”decision tree”.
3) Menentukan batas-batas
kritis (critical limits).
4) Menetapkan prosedur
pemantauan (Monitoring).
5) Menetapkan tindakan
koreksi (corrective action).
6) Menetapkancara
pencatatan (reccord keeping).
7) Verifikasi
Lebih baik bila verifikasi
inidilakukan secara internal yaitu audit yang dilakukan oleh pihak manajemen
perusahaan sendiri ditunjang oleh uji coba laboratorium sebagai pendukung
dansecara eksternal yaitu audit yang dilakukan oleh pihak pemerintah yang
dilakukansecara wajib dan rutin. (Fardiaz, 2000)
Sedangkan penerapan HACCP terdiri dari tugas- tugas berikut:
1.
Menyusun
tim HACCP
Tim HACCP melibatkan semua komponen dalam industri yang terlibat
dalam menghasilkan produk dari berbagai latar belakang disiplin ilmu dan
keahlian spesifik jika keahlian tidak didapat dari dalam perusahaan, maka dapat
dipakai pakar.
2. Deskripsi produk
Deskripsi produk
merupakan keterangan lengkap tentang produk, termasuk nama dan jenis produk,
komposisi/formula, proses pengolahan, daya simpan, cara distribusi, petunjuk
penggunaan, kondisi penyimpanan (waktu, suhu dan penanganan) dsb.
3. Identifikasi
pengguna yang dituju
Dalam kegiatan ini, tim HACCP menuliskan
kelompok konsumen yang mungkin berpengaruh pada keamanan produk. Tujuan penggunaan
produk harus didasarkan pada pengguna akhir produk tersebut. Konsumen ini dapat
berasal dari orang umum atau kelompok masyarakat khusus, misalnya kelompok
balita atau bayi, kelompok remaja, atau kelompok orang tua. Pada kasus khusus
harus dipertimbangkan kelompok populasi pada masyarakat beresiko tinggi.
4. Penyusunan diagram
alir proses
Penyusunan diagram alir proses pembuatan produk dilakukan dengan
mencatat seluruh proses sejak diterimanya bahan baku sampai dengan
dihasilkannya produk jadi untuk disimpan. Pada beberapa jenis produk, terkadang
disusun diagram alir proses sampai dengan cara pendistribusian produk
tersebut.
5. Verifikasi diagram
alir proses.
Agar diagram alir proses yang dibuat lebih lengkap dan sesuai
dengan pelaksanaan di lapangan, maka tim HACCP harus meninjau operasinya untuk
menguji dan membuktikan ketepatan serta kesempurnaan diagram alir proses
tersebut. Bila ternyata diagram alir proses tersebut tidak tepat atau kurang
sempurna, maka harus dilakukan modifikasi. Diagram alir proses yang telah
dibuat dan diverifikasi harus didokumentasikan.
6. Analisa Bahaya (Prinsip 1).
Setelah lima tahap pendahuluan terpenuhi, tim HACCP
melakukan analisa bahaya dan mengindentifikasi bahaya beserta cara-cara
pencegahan untuk mengendalikannya. Analisa bahaya amat penting untuk dilakukan
terhadap bahan baku, komposisi, setiap tahapan proses produksi,
penyimpanan produk, dan distribusi, hingga tahap penggunaan oleh konsumen.
Tujuan analisis bahaya adalah untuk mengenali bahaya-bahaya apa saja yang
mungkin terjadi dalam suatu proses pengolahan sejak awal hingga ke tangan
konsumen.
Analisis bahaya terdiri dari tiga tahap yaitu, identifikasi
bahaya, penetapan tindakan pencegahan (preventive measure), dan
penentuan kategori resiko atau signifikansi suatu bahaya. Dengan demikian, perlu
dipersiapkan daftar bahan mentah dan ingredient yang digunakan
dalam proses, diagram alir proses yang telah diverifikasi, serta deskripsi dan
penggunaan produk yang mencakup kelompok konsumen beserta cara konsumsinya,
cara penyimpanan, dan lain sebagainya.
7.
Penetapan Critical Control Point (prinsip
2).
CCP atau Titik Kendali Kritis didefinisikan sebagai suatu titik,
langkah atau prosedur dimana pengendalian dapat diterapkan dan bahaya keamanan
pangan dapat dicegah, dihilangkan atau diturunkan sampai ke batas yang dapat
diterima. Pada setiap bahaya yang telah diidentifikasi dalam proses sebelumnya,
maka dapat ditentukan satu atau beberapa CCP dimana suatu bahaya dapat
dikendalikan. Masing-masing titik penerapan tindakan pencegahan yang telah
ditetapkan diuji dengan menggunakan CCP decision tree untuk
menentukan CCP.
8. Penetapan Critical Limit (Prinsip
3).
Critical limit (CL) atau batas kritis adalah suatu kriteria
yang harus dipenuhi untuk setiap tindakan pencegahan yang ditujukan untuk
menghilangkan atau mengurangi bahaya sampai batas aman. Batas ini akan
memisahkan antara "yang diterima" dan "yang ditolak",
berupa kisaran toleransi pada setiap CCP. Batas kritis ditetapkan untuk
menjamin bahwa CCP dapat dikendalikan dengan baik. Penetapan batas kritis haruslah
dapat dijustifikasi, artinya memiliki alasan kuat mengapa batas tersebut
digunakan dan harus dapat divalidasi artinya sesuai dengan persyaratan yang
ditetapkan serta dapat diukur. Penentuan batas kritis ini biasanya
dilakukan berdasarkan studi literatur, regulasi pemerintah, para ahli di bidang
mikrobiologi maupun kimia, CODEX dan lain sebagainya.
Untuk menetapkan CL maka pertanyaan yang harus dijawab adalah :
apakah komponen kritis yang berhubungan dengan CCP?
Suatu CCP mungkin memiliki berbagai komponen yang harus
dikendalikan untuk menjamin keamanan produk. Secara umum batas kritis dapat
digolongkan ke dalam batas fisik (suhu, waktu), batas kimia (pH, kadar garam).
Penggunaan batas mikrobiologi (jumlah mikroba dan sebagainya) sebaiknya
dihindari karena memerlukan waktu untuk mengukurnya, kecuali jika terdapat uji
cepat untuk pengukuran tersebut. Tabel 5 menunjukkan contoh batas kritis suatu
proses dalam industri pangan.
9. Prosedur pemantauan
CCP (prinsip 4)
Kegiatan pemantauan (monitoring) adalah pengujian
dan pengamatan terencana dan terjadwal terhadap efektifitas proses
mengendalikan CCP dan CL untuk menjamin bahwa CL tersebut menjamin keamanan
produk. CCP dan CL dipantau oleh personel yang terampil serta dengan frekuensi
yang ditentukan berdasarkan berbagai pertimbangan, misalnya kepraktisan.
Pemantauan dapat berupa pengamatan (observasi) yang direkam dalam suatu checklist atau
pun merupakan suatu pengukuran yang direkam ke dalam suatu datasheet. Pada
tahap ini, tim HACCP perlu memperhatikan mengenai cara pemantauan, waktu dan
frekuensi, serta hal apa saja yang perlu dipantau dan orang yang melakukan
pemantauan.
10. Penetapan tindakan
koreksi (prinsip 5).
Tindakan koreksi dilakukan apabila terjadi
penyimpangan terhadap batas kritis suatu CCP. Tindakan koreksi yang dilakukan
jika terjadi penyimpangan, sangat tergantung pada tingkat risiko produk pangan.
Pada produk pangan berisiko tinggi misalnya, tindakan koreksi dapat berupa
penghentian proses produksi sebelum semua penyimpangan dikoreksi/diperbaiki,
atau produk ditahan/tidak dipasarkan dan diuji keamanannya. Tindakan koreksi
yang dapat dilakukan selain menghentikan proses produksi antara lain
mengeliminasi produk dan kerja ulang produk, serta tindakan pencegahan seperti
memverifikasi setiap
11. Verifikasi Program
HACCP (Prinsip 6).
Verifikasi adalah metode, prosedur dan uji
yang digunakan untuk menentukan bahwa sistem HACCP telah sesuai dengan rencana
HACCP yang ditetapkan. Dengan verifikasi
maka diharapkan bahwa kesesuaian program HACCP dapat diperiksa dan efektifitas
pelaksanaan HACCP dapat dijamin. Beberapa kegiatan verifikasi misalnya:
penetapan jadwal inspeksi verifikasi yang tepat, pemeriksaan
kembali rencana HACCP, pemeriksaan
catatan CCP, pemeriksaan
catatan penyimpangan dan disposisi inspeksi visual terhadap kegiatan untuk
mengamati jika CCP tidak terkendalikan. Pengambilan contoh secara acak Catatan
tertulis mengenai inspeksi verifikasi yang menentukan kesesuaian dengan rencana
HACCP, atau penyimpangan dari rencana dan tindakan koreksi yang dilakukan. Verifikasi
harus dilakukan secara rutin dan tidak terduga untuk menjamin bahwa CCP yang
ditetapkan masih dapat dikendalikan. Verifikasi juga dilakukan jika ada
informasi baru mengenai keamanan pangan atau jika terjadi keracunan makanan
oleh produk tersebut.
12. Perekaman
Data/Dokumentasi (Prinsip 7).
Dokumentasi program
HACCP meliputi pendataan tertulis seluruh program HACCP sehingga program
tersebut dapat diperiksa ulang dan dipertahankan selama periode waktu tertentu.
Dokumentasi mencakup semua catatan mengenai CCP, CL, rekaman pemantauan CL,
tindakan koreksi yang dilakukan terhadap penyimpangan, catatan tentang
verifikasi dan sebagainya. Oleh karena itu dokumen ini dapat ditunjukkan kepada
inspektur pengawas makanan jika dilakukan audit eksternal dan dapat juga
digunakan oleh operator. (Hermawan, 2005).
(Dimas, 2011)
Berikut adalah penjelasan dari diagram alir pembuatan produk
kopi instan “Nestle” :
a.
Sortasi
biji kopi
Bertujuan untuk
membersihkan kopi beras dari kotoran
sehingga memenuhi syarat mutu dan mengklasifikasikan kopi tersebut
menurut standard mutu yang telah ditetapkan. Sortasi dilakukan berdasarkan bentuk, warna dan ukuran biji
kopi.
b.
Perendangan
atau penyangraian
Perendangan (penyangraian) merupakan pemanasan
kopi beras pd suhu 200 – 225 C yang bertujuan untukmendapatkan kopi rendang yg
berwarna coklat kayu manis kehitaman. Selama proses perendangan àbiji kopi akan mengalami 2 tahap oroses
penting yaitu
:
1)
penguapan
air pada suhu 100 oC
2)
pyrolisis
pada suhu 180 – 225 oC, kopi akan mengalami perubahan2 kimia
antara lain, pengarangan serat kasar , terbentuknya
senyawa volatile, penguapan zat-zat asam, terbentuknya zat beraroma khas kopi. Perubahan warna
yang terjadi secara berturut-turut dr hijau atau coklat muda
hingga
menjadi coklat kayu manis serta hitam dengan
permukaan berminyak. Bila kopi sudah berwarna kehitaman dan
mudah pecah (retak) maka penyangraian segera dihentikan.
c.
Penggilingan
atau penumbukan
Penggilingan merupakan proses
pemecahan (penggilingan) butir-butir biji kopi yg telah direndang untuk
mendapatkan kopi bubuk yg berukuran maks 75 mesh. Ukuran butir-butir
(partikel-partikel)bubuk kopi akan berpengaruh terhadap rasa dan aroma kopi. Semakin
kecil ukurannya maka akan semakin baik rasa dan aromanya
karena sebagian besar bahan-bahan yg terdapat didalam kopi bisa larut dalam
air ketika diseduh.
d. Ekstraksi
Ada 2 tahap yaitu :
•
Kopi
giling di ekstrak dengan air panas suhunya 90 C, tekanan atmosfer. Ekstraksi
ini baik untuk memperoleh kualitas produk terbaik yg digunakan sbg standar
kualitas.
•
Ekstraksi
ke II bertekanan dengan suhu 150 C
sehingga terjadi hidrolisis hemiselulosa dan komponen lain yg mudah
larut dlm air. Ekstraksi yang dioperasikan dalam bentuk seri semi kontinyu dgn
5 – 10 unit perkolator sehingga aliran air berjalan berlawanan arah dengan kopi giling yang suhu airnya 154 – 182 C.
Bila suhu kolom terlalu tinggi maka
didinginkan dengan air pendingin dlm
plat penukar panassehingga mengurangi
kerusakan aroma dan rasa, suhu ekstrak
60 – 82 C. Dlm ekstraksi ada satu kolom dengan tekanan lebih besar daripada
tekanan atmosfer..Air yang digunakan harus bebas dari garam kalsium dan
magnesium sehingga untuk menghindari kerak dalam kolom aperkolator. Jenis kopi
yg digunakan yaitu kopi robusta karena rendemannya lebih tinggi dibanding kopi
arabika. Selain itu juga memberikan kekentalan pada saat penyeduhan dan warna lebih
kuat. Hasil ekstraksi berupa produk agak padat disebut liquor kemudian disaring melalui filter. Sesudah
ekstrak berada dalam perkolator terakhir sehingga ekstrak kopi dialirkan sambil
didinginkan tanpa kontak udara dan untuk
mencegah menguapnya aroma volatile yg menyebabkan penurunan kualitas.
e. Evaporasi
Bertujuan untuk menguapkan larutan
menjadi lebih pekat sehingga kadar air dalam bahan menjadi berkurang. Dengan
demikian pada saat evaporasi berlangsung digunakan panas tertentu yang dapat
menguapkan air dari dalam bahan. Jika prose hasil evaporasi rendah maka
memerlukan proses semprot ataupun pengeringan yang cukup lama sehingga
memerlukan biaya produksi lebih meningkat.
f. Pengeringan
Digunakan Spray drying yaitu menggunakan aliran udara
panas yang bersamaan dengan penyemprotan
ekstrak kopi. Suhunya 200 – 260 C dan suhu udara keluar 107 – 121 C untuk
memperoleh kualitas yg terbaik (rasa). Partikel kopi instant kering yg
dihasilkan kemudian diayak sehingga
ukuran partikel seragam.( Ishaq, 2012)
g. Mixing dengan gula
Pada pembuatan kopi instan
digunakan campuran gula untuk meningkatkan rasa dari kopi instant sehingga
ketika dikonsumsi rasa dari kopi instan tidak terlalu pahit. Bahan mixing
ditambahkan ketika bubuk kopi telah mengalami pengeringan sehingga mixing
berjenis mixing kering, yaitu gula dimixing dengan kopi bubuk yang telah
mengalami pengeringan . Ada bermacam-macam campuran yang dapat ditambahkan pada
kopi instant yaitu seperti gula, susu krim, gingseng, jahe, kapulaga, dan lain
sebagainya sesuai dengan permintaan konsumen. Akan tetapi pada umumnya sebagian
besar ditambahkan dengan gula saja, sehingga kopi bisa langsung dinikmati oleh
konsumen.
h. Pengemasan
Proses akhir dari
pembuatan kopi instant yaitu dengan melalui pengemasan. Pengemas yang dipakai
dapat berupa pengemas primer. Dengan demikian dapat berupa alumunium foil atau
plastik, pengemas akan lebih baik jika dilapisi dengan alumunium foil, sehingga
tidak ada lubang yang nantinya dapat terjdi kontak langsung antara udara dan
kopi bubuk instant, karena hal ini dapat menyebabkan kopi instant dapat
menggumpal, terjadinya reaksi bubuk kopi dengan udara yang kemudian kandungan
air dari udara akan mengikat serbuk kopi instant. Sehingga timbul
gumpalan-gumpalan yang tak seragam dan menjadikan mutu kopi menjadi rendah.
2.3.4 Analisa Tabel HACCP
1. Tabel
Analisa Bahaya
Pada tahapan
pembuatan kopi instant digunakan beberapa tahapan proses yang meliputi
penerimaan bahan baku, sortasi biji kopi, perendangan, penggilingan, eksraksi,
evaporasi, pengeringan, mixing dengan gula serta pengemasan.
a.
Pada
penerimaan bahan baku perlu diperhatikan kualitas biji kopi, keadaan karung
tempat biji kopi diletakkan, dan ruang penyimpanan biji kopi. Sehingga
memungkinkan biji kopi mengalami kerusakan mutu yang dapat disebabakan oleh
timbulnya jamur, kerusakan fisik dan mekanis pada biji kopi sangat tinggi. Selain itu adanya
imbibisi air dari karung tempat penyimpanan biji kopi sebelum proses pengolahan
serta mengkondisikan suhu ruang penyimpanan sesuai yaitu suhu kamar sehingga
perlu diambil tindakan pemilihan wadah yang tepat, dan pengontrolan suhu yang
sesuai dengan suhu penyimpanan biji kopi kering. Selain itu potensi bahaya lain
yang muncul dapat berupa kontaminasi yang berasal dari pestisida yang digunakan
pada penanaman biji kopi, bahaya yang ditimbulkan dapat dikurangi dengan perendaman
dan pencucian karena dapat mengurangi bahaya yang ada.
b.
Pada
tahap sortasi biji kopi potensi bahaya yaitu masih terdapat biji berkualitas
buruk, kerikil, potongan ranting, dan kontaminan fisik lain yang berasal dari
sumber bahaya kontaminan fisik. Bahaya tersebut dapat dikurangi dengan
melakukan pemisahan kontaminan dengan biji kopi sehingga biji kopi yang
diperoleh bebas dari kontaminan.
c.
Pada
tahap perendangan/penyangraian potensi yang paling tinggi terjadi yaitu
pengontrolan suhu dan lamanya waktu penyangraian. Hal ini menyebabkan biji kopi
menjadi gosong, dan hilanggya senyawa volatil pembentuk aroma khas pada kopi.
Serta hilangnya komponen-komponen pembentuk cita rasa atau flavor pada kopi.
Sehingga dapat diambil tindakan berupa pengontrolan suhu dan lamanya waktu
secara berkala, dan pencampuran kembali senyawa volatile dengan menggunakan
prinsip kondensasi.
d.
Pada
tahap penggilingan bahayaa yang tidak begitu tinggi atau berpotensi rendah pada
alat penggiling yang telah berkarat sehingga kemungkinan kopi bubuk dapat
tercampur dengan logam karatan alat penggilingan. Sehingga perlu adanya perawatan dan kalibrasi
alat secara berkala. Perbedaan kematangan biji kopi juga dapat mempengaruhi
penggilingan dengan potensi yang tinggi yaitu ukuran partikel menjadi tidak
seragam, sehingga perlu penanganan berupa sortasi kembali pada biji kopi yang
ukuran hasil penggilingannya masih tidak sama.
e.
Ekstraksi
yang dilakukan menggunakan air dengan suhu 60-820C hal ini berpotensi tinggi mengakibatkan kopi
tidak terekstrak secara sempurna. Sehingga perlu pengontrolan suhu secara
teratur pada air yang digunakan untuk ekstraksi. Sedangkan kualitas air yang
dipakai tidak begitu berpotensi tinggi untuk menyebabkan kegagalan produksi
sehingga perlu dilakukan analisis kandungan air yang akan digunakan sebelum
proses berlangsung.
f.
Evaoprasi, pada saat inilah potensi tinggi
terjadi yaitu terletak pada suhu evaporator, lama waktu evaporasi, dan
konsentrasi larutan. Hal ini akan mengakibatlkan terjadinya reaksi
karamelisasi, timbul kerak pada badan evaporator, serta viskositas terlalu
tinggi. Hal ini dapat dikendalikan dengan menggunakan jenis single effect
evaporator dengan tekanan vakum,
penyesuaian antara suhu dan lamanya proses evaporasi.
g.
Pengerinagan,
pada saat ini bahaya yang ditimbulakan masih dalam taraf tengah atau tidak
begitu berbahaya yaitu terjadinya aliran semprotan ekstraksi kopi pekat pada
masing-masing lubang tidak sama.
h.
Mixing
dengan gula, sumber bahaya terdapat pada alat mixing yaitu dapat menyebabkan
bubuk kopi dan gula tidak tercampur secara sempurna, sehingga bahaya yang
ditimbulkan tinggi. Dengan dmikian dapat melakukan perawatan alat mixing secara
berkala.Selain itu gula yang digunakan sebagai bahan tambahan mengandung
senyawa berbahaya seperti kandungan kadar sulfit sehingga perlu diadakan
analisa kualitas gula yang dipakai.
i.
Tahap terakhir yaitu pengemasan, potensi
bahaya terdapat pada alat pengemas sehingga kualitas menurun, tingkat bahaya
medium dan tidak nyata sehingga oerlu diadakan perawatan alat kemas secara
berkala. Selain itu pada jenis pengemas, yang sering terjadi adalah kemasan
rusak, berlubang, dan sobek, sehingga tingkat bahaya tidak begitu tinggi, untuk
itu pengendalian yang dilakukan dengan memilih bahan pengemas yang sesuai dan diperbolehkan
(food grade). Selain itu kemasan yang masih mengandung bahan kimia berbahaya,
bahaya yang timbul merupakan bahaya yang cukup tinggi dan nyata dapat terjadi,
sehingga perlu diadakan tindakan melakukan pemeriksaan pengemas sebelum
digunakan serta tidak banyak menggunakan tambahan zat kimia. Selain itu pekerja
kurang berhati-hati dalam melakukan pengawasan pada saat proses pengemasan
sehingga potensi bahaya tidak tinggi, dan nyata. Tindakan yang perlu dilakukan
adalah pekerja harus lebih berhati-hati, cermat, dan teliti dalam melakukan
pengemasan.
2. Tabel
TKK
Titik Kendali Kritis
terdapat pada setiap tahapan proses. Pada pengolahan kopi instan terdapat Titik
Kendali Kritis (TKK) sebagai berikut:
a)
Penerimaan
Bahan Baku
Pada tahap penerimaan bahan baku, potensi
bahaya yang ditemui berupa terdapatnya residu pestisida. Berdasarkan pohon
keputusan, pada P1 bahan baku dapat mencegah meningkatnya bahaya, misalnya
dengan menggunakan bahan baku biji kopi yang berkualitas baik tanpa adanya kandungan
residu pestisida. Sehingga perlu pengendalian lebih lanjut pada P2 di mana
adanya kontaminasi dapat diidentifikasi, dan dilanjutkan pada P4 dimana pada
tahapan proses selanjutnya tidak dapat mengurangi atau bahkan menghilangkan
bahaya hingga pada batas yang dapat diterima. Pada P3 bahaya dapat bertambah
hingga pada tingkat yang tidak dapat diterima. Sehingga pada tahapan proses
penerimaan bahan baku termasuk CCP 2 karena bahaya yang ada masih dapat
dikurangi hingga batas yang masih diperbolehkan untuk keselamatan konsumen.
b)
Sortasi
Biji Kopi
Pada tahapan proses sortasi biji kopi, potensi bahaya yang
ditemui yaitu masih terdapat biji yang berkualitas buruk, kerikil, potongan
ranting, dan kontaminan fisik lain. Berdasarkan pohon keputusan, pada P1 bahan
baku dapat mencegah meningkatnya bahaya, misalnya dengan menggunakan bahan baku
biji kopi yang memiliki kualitas baik. Selanjutnya dilakukan pengendalian lebih
lanjut pada P2 di mana adanya kontaminasi dapat diidentifikasi dan pada P4
bahaya dapat dikurangi atau pun dihilangkan sehingga pada tahapan proses
sortasi biji kopi ini bukan termasuk CCP.
c)
Perendangan
(penyangraian /roasting)
Pada tahapan proses perendangan (penyangraian/roasting), potensi
bahaya berasal dari suhu penyangraian yang tidak sesuai. Berdasarkan pohon
keputusan, pada P1 produk antara tidak dapat mencegah meningkatnya bahaya
hingga pada tingkat yang dapat diterima sehingga bukan termasuk CCP dan tidak
perlu dilanjutkan pada P2, P3, dan P4.
d)
Penggilingan
Pada tahapan proses penggilingan, potensi bahaya pada produk
yaitu, ukuran partikel bubuk tidak seragam. Berdasarkan pohon keputusan, pada
P1 tahapan proses penggilingan ini produk antara tidak dapat mencegah
meningkatnya bahaya hingga pada tingkat yang dapat diterima sehingga bukan termasuk
CCP dan tidak perlu dilanjutkan pada P2, P3, dan P4.
e)
Ekstraksi
Pada tahapan proses ekstraksi, potensi bahaya berasal dari kopi
yang tidak terekstrak sempurna. Berdasarkan pohon keputusan, pada P1 tahapan
proses ekstraksi ini produk antara tidak dapat mencegah meningkatnya bahaya
hingga pada tingkat yang dapat diterima sehingga bukan termasuk CCP dan tidak
perlu dilanjutkan pada P2, P3, dan P4.
f)
Evaporasi
Pada tahapan proses evaporasi, potensi bahaya ada pada
terbentuknya kerak akibat suhu yang terlalu tinggi dan sisa pengolahan
sebelumnya. Berdasarkan pohon keputusan, pada P1 tahapan proses evaporasi ini produk
antara yang berupa ekstrak kopi tidak dapat mencegah meningkatnya bahaya hingga
pada tingkat yang dapat diterima sehingga bukan termasuk CCP dan tidak perlu
dilanjutkan pada P2, P3, dan P4.
g)
Pengeringan
Pada tahapan proses pengeringan, potensi bahaya berasal dari
aliran penyemprot ekstrak kopi pekat pada masing-masing lubang tidak sama.
Berdasarkan pohon keputusan, pada P1 tahapan proses pengeringan ini produk
antara yang berupa ekstrak kopi pekat tidak dapat mencegah meningkatnya bahaya
hingga pada tingkat yang dapat diterima sehingga bukan termasuk CCP dan tidak
perlu dilanjutkan pada P2, P3, dan P4.
h)
Mixing
dengan gula
Pada tahapan proses mixing dengan gula, potensi bahaya berasal
dari gula yang digunakan mengandung sufit
dengan jumlah yang melampaui batas yang diizinkan. Berdasarkan pohon keputusan, pada P1 tahapan proses ini produk
antara dan bahan pembantu dapat mencegah meningkatnya bahaya, misalnya dengan
menggunakan bahan baku gula yang berkualitas baik. Sehingga perlu pengendalian
lebih lanjut pada P2 di mana adanya kontaminasi tidak dapat diidentifikasi dan
dilanjutkan pada P3 bahaya tidak dapat bertambah hingga pada tingkat yang tidak
dapat diterima. Sehingga pada tahapan proses mixing dengan gula bukan merupakan
CCP.
i)
Pengemasan
Pada tahapan proses pengemasan, potensi bahaya berasal dari
pemilihan bahan pengemas dan
proses pengemasan yang kurang tepat sehingga ditakutkan saat penyimpanan
terdapat adanya kebocoran yang dapat memicu masuknya air dan oksigen sehingga
terjadi pertumbuhan mikroba. Berdasarkan pohon keputusan, pada P1 tahapan
proses pengemasan ini produk antara yang berupa produk kopi instan tidak dapat
mencegah meningkatnya bahaya hingga pada tingkat yang dapat diterima.
Kontaminasi tidak dapat diidentifikasi pada P2 dan dilanjutkan pada P3 bahaya
dapat bertambah hingga tingkat yang tidak dapat diterima misalnya dengan adanya
kebocoran mikoba dapat mengkontaminasi hingga produk kopi instan tidak layak
untuk dikonsumsi karena dapat membahayakan kesehatan konsumen. Pada P4 tahapan
berikutnya tidak dapat mengurangi ataupun menghilangkan bahaya sehingga merupakan
CCP.
3. Tabel
Kerja Pengendalian HACCP
Pada tabel ini berisi
tahapan proses yang hanya merupakan tahapan CCP pada proses pengolahan kopi
instan, yaitu :
a.
Penerimaan
bahan baku, pada tahapan proses penerimaan bahan baku
kopi biji terkadang mengandung residu pestisida. Adanya residu pestisida yang
melebihi batas maksimum yang terdapat pada hasil pertanian, dapat menjadi
sumber bahaya yaitu berupa bahaya kimiawi dalam produk pangan yang dihasilkan
yaitu kopi instan. Batas kritis bahaya kimia yang ditimbulkan oleh residu
pestisida adalah untuk tiap-tiap jenis residu pestisida kadar maksimum yang
diperbolehkan berbeda-beda tetapi pada umumnya < 0,08 ppm. Dengan adanya
bahaya kimia yang ditimbulkan oleh residu pestida, sehingga perlu
dilakukan pemantauan terhadap penggunaan pestisida oleh supplier. Tindakan
koreksi langsung dilakukan setelah penerimaan bahan baku adalah dilakukan
pengurangan kadar residu pestisida yaitu dengan perendaman dan pencucian.
Tetapi jika kadar residu pestisida melebihi batasa maksimal, maka akan
dikembalikan pada supplier. Penanggung
jawab pengambil keputusannya adalah
Manajer tim HACCP atau Manajer QC (Quality Control).
b.
Pengemasan,
pada tahapan pengemasan dapat ditemukan indikasi adanya bahaya yaitu berupa
bahaya mikrobiologi yang disebabkan oleh bahan pengemas yang kurang baik yaitu
pori- porinya yang terlalu banyak dan proses pengemasan yang kurang tepat
sehingga air dan udara dapat masuk ke dalam kemasan dan menaikkan Aw dari bahan
yaitu kopi instan. Dengan adanya Aw yang meningkat maka dimungkinkan adanya
pertumbuhan mikroba yaitu berupa kapang. Batas kritis untuk pada tahapan proses
pengemasan adalah kadar air pada kopi instan melebihi batas air maksimum yaitu
4%. Tindakan pengendalian yang dapat dilakukan dengan memantau bahan pengemas
yang digunakan serta proses pengemasan. Sedangkan tindakan koreksi langsng yang
dilakukan adalah dengan produk tidak dapat dipasarkan. Tindakan koreksi
langsung dilakukan setelah saat proses pengemasan. Penanggung jawab yang mengambil keputusan jika hal tersebut
terjadi adalah Manajer tim HACCP atau Manajer QC (Quality Control).
BAB 3.
PENUTUP
3.1
Kesimpulan
Kesimpulan penerapan HACCP pada produk kopi instan “Nestle” ini
adalah titik kendali kritis (TKK/CCP) berada pada proses penerimaan bahan baku dan
proses pengemasan, sehingga perlu dilakukan tindakan pengendalian berupa pemantauan terhadap penggunaan pestisida dan pemantau
bahan pengemas yang digunakan serta proses pengemasan. Apabila bahaya yang ada telah terjadi perlu adanya tindakan
koreksi berupa pengurangan
kadar residu pestisida yaitu dengan perendaman dan pencucian. Tetapi jika kadar
residu pestisida melebihi batasa maksimal, maka akan dikembalikan pada supplier dan produk tidak dipasarkan. Pada penerapan HACCP penanggung
jawab yang bertugas untuk memutuskan tindakan terhadap proses pengolahan adalah
Manajer tim HACCP atau dapat juga Manajer Quality Control (QC).
3.2 Saran
Sebaiknya dilakukan pengendalian terhadap bahan baku yang berupa
biji kopi dan bahan tambahan seperti gula agar dapat mengendalikan proses
pengolahan karena bahan baku sangat berpengaruh besar terhadap mutu kopi instan
“Nestle” yang dihasilkan.
DAFTAR PUSTAKA
Anonim.2012. Petunjuk
Praktikum Pengendalian Mutu Pangan. Jember: Jurusan Teknologi Hasil
Pertanian Universitas Jember.
BSN. 1998. Sistem Analisa Bahaya dan
Pengendalian Titik Kritis. Departemen Perindustrian Indonesia. SNI
01-4852-1998. Jakarta : Departemen Perindustrian Indonesia
Dimas, Rahadian. 2011. Pengolahan Kopi. http://rahadiandimas.staff.uns.ac.id. [diakses
28 November 2012].
Fardiaz, S.2000. Analisis Bahaya dan Titik Kendali Kritis. Makalah CFNS-PAU. Bogor: Institut Pertanian
Bogor.
Hermawan. 2005. Sistem Manajemen HACCP. Jakarta: PT
Bumi Aksara.
Ishaq, Alfyandi. 2012.
Pembuatan Kopi Instan. http://alfyandiishaq.wordpress.com/2012/06/20/pembuatan-kopi-instan.html.
[diakses 28 November 2012].
Siswoputranto, P.S. 1978. Perkembangan
Teh, Kopi, Cokelat Internasional. Jakarta : Gramedia.
Syarief, R., S.Santausa, St.Ismayana B. 1989 .Teknologi Pengemasan Pangan.
Bogor: Laboratorium Rekayasa Proses Pangan, PAU Pangan
dan Gizi, IPB.